Liputan6.com, Jakarta Secara antisipatif, pikiran Anda mungkin akan memunculkan konsep kesejarahan saat Anda hendak menuju sebuah Museum. Ini tidak salah. Museum memang memamerkan sejarah. Pertanyaannya adalah dimensi sejarah apa yang bisa Anda tembus saat melihat benda-benda yang dipamerkan di museum.
Anda tak mendapat banyak hal bila melihat benda-benda di sana hanya sebagai artefak, sebagai sebuah benda masa lampau yang kini dipajang dalam sebuah tempat bernama museum. Lebih dari dimensi fisik benda-benda bersejarah itu, ada dimensi konteks kultural yang perlu dikaji mendalam sebagai panduan dalam memaknai hidup.
Advertisement
Baca Juga
Desainer senior Indonesia, Samuel Wattimena, melangkah setahap lebih rumit dengan pameran yang diselenggarakannya dalam kerjasama dengan Forum Kajian Antropologi Indonesia. `Gelar Karya Samuel Wattimena: Evolusi Tenun Maluku Tenggara` berlangsung di Museum Tekstil pada 12-19 November 2014.
Advertisement
Cerita Puan Maharani, Mentri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di peresmian pembukaan pameran tentang bagaimana dirinya beserta keluarga menjalin cinta dengan kain-kain tradisional Indonesia jadi terdengar klise – meski tentu saja tetap berguna – bila dibandingkan dengan wacana budaya yang disuguhkan Sam (panggilan akrab Samuel Wattimena) melalui pameran Tenun Ikat Tanimbar ini.
Di ruang-ruang bangunan yang didirikan pada awal abad ke-19 bergaya khas era kolonial ini, corak-corak etnik Tanimbar tak hanya dapat ditemukan pada kain-kain tenun. Pada sebuah ruangan bisa dilihat corak-corak tersebut tercetak pada lembaran kulit ular. Dalam balok kaca yang sama terdapat juga tas-tas yang terbuat dari kulit ular bercorak tenun ikat Tanimbar itu. Inilah satu wujud kerumitan wacana yang hadir dalam pameran tersebut.
Pameran ini menampilkan kekinian dalam sebuah museum. Adalah teknik printing yang memungkinkan corak-corak tenun ikat kepulauan di Maluku Tenggara tercetak di kulit ular atau juga bahan-bahan lain, termasuk pada 10 rancangan Sam yang diperagakan model saat itu, dimana nuansa etniknya tetap intens meski desain-desainnya moderen.
`Tenun Ikat vs Print Motif Tenun Ikat` merupakan tema debat yang dihadapi oleh desainer-desainer Indonesia yang cinta dengan budaya tradisional Indonesia, seperti Sam. Pertanyaannya, haruskah hal itu diperdebatkan atau diposisikan untuk saling mengalahkan? Kata kunci yang disuguhkan oleh Sam yang juga dipakai dalam judul pameran adalah `Evolusi`.
Sam melihat budaya sebagai sesuatu yang berevolusi. Berbeda dengan evolusi alam dimana sesuatu yang baru tercipta menyeleksi dan menggantikan sesuatu yang lama, evolusi budaya dihadirkan Sam untuk melestarikan yang lama melalui penciptaan hal baru. Rancangan dari kain print motif tenun ikat atau dari bahan-bahan lain bukan dimaksudkannya untuk menghilangkan tenun ikat itu sendiri.
Meskipun tenun ikat sebagai sebuah produk budaya tradisional tak bisa dipisah begitu saja elemen-elemennya, yakni antara motif dan teknik tenun, Sam mampu melihat bahwa pada motiflah spirit tradisional itu bernafas. Kain print motif tenun ikat adalah sebuah jembatan yang bisa diakses oleh masyarakat yang lebih luas guna melestarikan spirit tradisional itu.
“Harga jual kain print motif tenun ikat bisa dijangkau oleh masyarakat yang lebih luas dibanding dengan tenun ikat itu sendiri. Dengan kain print motif tenun ikat, masyarakat yang belum dapat menjangkau tenun ikat bisa menikmati motif-motifnya lewat kain print tersebut sehingga motif-motif tersebut bisa tersosialisasi lebih luas,” Sam mengutarakan pandangannya.
Sam yakin bahwa kain motif tenun ikat hasil print tak akan membunuh tenun ikat itu sendiri. Dasarnya adalah sisi estetik manusia yang punya pola gerak berbeda dengan gerak linear kecanggihan teknologi. Sama halnya dengan teknik lukis yang tak punah walau teknik kamera berkembang bahkan hingga menjadi bidang fotografi digital, tenun ikat pun akan tetap diminati walau kain print motif tenun ikat muncul.