Ditemukan, Kolam di Kawah Gunung 'Pemusnah' Peradaban Atlantis

Kolam bawah laut tersebut dijuluki Kallisti Limnes -- yang berarti 'danau paling indah' dalam Bahasa Yunani Kuno.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 22 Jul 2015, 18:12 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2015, 18:12 WIB
Ada kolam karbondioksida di dasar laut Santorini
Ada kolam karbondioksida di dasar laut Santorini (Wikipedia)

Liputan6.com, Santorini - Sekitar 3.600 tahun lalu, erupsi dahsyat gunung berapi terjadi di Kepulauan Santorini yang terletak di Laut Aegea, Yunani. Letusan tersebut melenyapkan peradaban Minoa yang ada di Pulau Kreta yang ada di dekatnya. Sebuah peristiwa kolosal yang mungkin menginspirasi mitos yang menyandera imaji manusia: misteri peradaban Atlantis yang hilang.

Letusan gunung di Santorini melepaskan 60 km kubik magma, 6 kali lipat yang dimuntahkan Krakatau pada 1883. Hanya erupsi Tambora, yang juga ada di Indonesia, pada 1815, yang mengalahkan kedahsyatannya.

Dari udara, kaldera bekas erupsi terlihat seperti gugusan yang dikelilingi pulau-pulau yang luasnya lebih besar di Laut Aegea. Selama lebih dari 4 ribu tahun pascaletusan, kaldera yang sebagian besar berada di bawah air mengalami serangkaian letusan kecil. Santorini pernah menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya pada Januari 2011 sebelum akhirnya kembali "tidur".

Baru-baru ini, menggunakan kendaraan otonom bawah air, para ilmuwan menguak keberadaan sejumlah kolam dengan air berwarna putih berkilauan di dasar laut Santorini. Di kedalaman mencapai 250 meter.

Kolam karbondioksida di dasar laut Santorini ( Rich Camilli, Woods Hole Oceanographic Institution)

Air tersebut keluar dari kaldera gunung berapi. "Kolam susu" yang sebelumnya tak pernah dilihat mata manusia itu dijuluki Kallisti Limnes -- yang berarti 'danau paling indah' dalam Bahasa Yunani Kuno.

Penampakannya terekam dalam video yang diambil kendaraan bawah laut pada Juli 2012. Kolam-kolam berdiameter 1-5 meter itu mengandung kadar karbondioksida yang tinggi, yang dapat membuat air padat dan cenderung membentuk genangan tersendiri di kedalaman laut.

"Seperti 'black and tan', campuran Guinness (bir hitam) dan Bass (ale), dua cairan tersebut nyatanya selalu terpisah," ujar Rich Camilli, ilmuwan Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI), sekaligus pemimpin penulis studi yang dipublikasikan pada 16 Juli 2015 di jurnal Scientific Reports, seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Rabu (22/7/2015).

"Erupsi gunung berapi Santorini pada 1600 sebelum Masehi melenyapkan peradaban Minoa yang tinggal di pesisir Laut Aegea," kata Camilli dalam pernyataannya. "Dan kini, kolam yang tak pernah terlihat di kawah gunung itu mungkin membantu peradaban kita menjawab pertanyaan penting tentang bagaimana perilaku karbondioksida di dalam laut."

Pulau yang indah itu, Santorini atau Thira, sebenarnya adalah tepi sebuah kaldera besar yang tersisa setelah letusan. Bagian dalam kaldera adalah titik aktivitas hidrotermal. Titik itu juga yang diinvestigasi Camilli dan para koleganya pada 2012 -- setahun setelah tanda-tanda peningkatan aktivitas terdeteksi.

Ada kolam karbondioksida di dasar laut Santorini (Wikipedia)

Menggunakan 2 kendaraan bawah air otonom, para peneliti mengeksplorasi kandungan kimia dalam air di kawah. Mereka menemukan kolam berisi cairan putih mirip susu di cekungan sepanjang dinding kaldera.

Memang, perbedaan massa pada air laut bukan kali pertama ditemukan. Faktanya, para peneliti sebelumnya meneliti kolam air garam yang memisahkan diri dari air laut di sekelilingnya -- karena kandungan garamnya yang ekstra tinggi.

"Namun, dalam kasus di Santorini peningkatan kepadatan kolam bukan dikarenakan kadar garam," kata Camilli. "Kami percaya mungkin CO2 lah yang membuat air padat dan memicu terbentuknya kolam terpisah."

Pengamatan para ilmuwan menarik. Sebab, karbon dioksida selama ini dianggap menyebar melalui laut setelah dilepaskan dari aktivitas geologi. Karbondioksida bawah tanah bisa berasal dari magma, batu kapur, atau batuan sedimen lain yang mengalami tekanan luar biasa.

Berkat kandungan karbondioksida, genangan tersebut memiliki kadar keasaman yang tinggi yang tak cocok dihuni makhluk bernyawa.

Namun, kolam itu masih mungkin menjadi rumah bagi organisme berkomposisi silika. Tubuh makhluk mikroskopis yang mirip kaca itu mungkin bisa menjelaskan warna opal dari kolam tersebut.

Temuan itu dapat membantu para peneliti memahami cara penyimpanan karbon bawah laut, salah satu cara yang potensial untuk memperbaiki kondisi akibat perubahan iklim.

Sekaligus juga menyediakan alat untuk memonitor potensi erupsi gunung di Santorini, pada masa yang akan datang.

(Ein/Tnt)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya