Liputan6.com, Sydney - Siapa bilang perbedaan harus menjadi penghalang untuk maju? Siapa bilang pendatang tidak bisa naik ke puncak pimpinan?
Kisah Kapten Mona Shindy, nakhoda kapal perang HMAS Canberra, mendobrak semua pandangan itu, terkecuali mungkin untuk urusan tempat tidur. Ruangan loker di dalam kapal perang itu harus dirombak menjadi tempat tidur bagi seorang wanita.
Baca Juga
Sebelum ini, belum pernah ada kapal perang aktif Australia yang membawa awak wanita, tapi nyatanya hal itu tidak menghalangi karir militer seorang ibu. Ataupun seorang muslim.
Advertisement
Sewaktu kuliah, wanita ini memilih untuk mempelajari teknik, namun bukan teknik mesin melainkan teknik senjata.
“Ini bukan hal baru. Semua tahu setiap gerakan, kegiatan dan keberadaan kami. Secara umum, pengalamannya baik, namun ada juga saat-saat yang menantang,“ ungkap sang kapten dikutip Daily Telegraph, (4/11/2015).
“Bagi kebanyakan insinyur wanita di lingkungan kerja manapun, awalnya kita harus bekerja lebih keras, memperlihatkan kemampuan agar diterima sebagai anggota yang berharga dan kontributor kepada tim.”
Lebih lagi pada bulan Ramadan. Sebagai letnan muda, tidak mudah menjelaskan bahwa dirinya sedang menjalankan ibadah puasa dan meminta untuk disisihkan sebagian makanan untuk berbuka.
Tanggapan yang diterimanya, “Makanlah seperti yang lainnya, atau tidak sama sekali. “Karena jawaban itu ia “berbuka di tengah Samudera dengan beberapa kaleng tuna.”
Marah Bukanlah Pilihan
“Reaksi pertama saya adalah memberikan empati, bukan marah. Saya mencoba menjadi bagian dari pemecah masalah dan mendidik melalui pergaulan dan interaksi. Tetap profesional terhadap tugas dan juga memberikan hasil yang profesional. Lambat laun, orang akan memberikan rasa hormat.”
Sikap itulah yang membawanya ke pucuk karir, dan pada pekan ini ia dihargai sebagai NSW Telstra Business Woman of the Year.
Sebagai Director Littoral Warfare and Maritime Support, Kapten Mona Shindy memberikan nasihat kepada pemerintah mengenai cara terbaik anggaran berjumlah triliunan dollar Australia untuk keperluan penggantian tanker, perahu, dan kapal patroli. Hampir semuanya, kecuali kapal selam.
Sebelumnya ia ditugaskan membenahi Fast Frigate System Program Office, dari organisasi yang tidak tidak efisien dengan dengan berbagai masalah, menjadi lingkungan kerjasama yang menghasilkan. Dan ia menghemat 30% dari biaya anggaran sebesar 130 juta dollar Australia.
“Pada akhirnya semua senang, kapal-kapal berlayar pada waktunya dengan perawatan yang tepat waktu. Berbalik dari keadaan sebelumnya."
Advertisement
Dukungan Keluarga
Sesudah dinas pertamanya di kapal HMAS Canberra, sang kapten menikah dan kemudian memiliki tiga anak -- perempuan yang kini berusia 20 tahun serta anak laki-laki berusia 18 tahun, disusul oleh seorang putri berusia 11 tahun.
Pekerjaan yang dijalaninya umumnya berlangsung setiap 2 tahun mengharuskannya bertugas di luar rumah selama 2 hingga 6 bulan.
“Ketika bertugas selama 6 bulan, sebagai seorang ibu dua anak kecil dengan keluarga yang masih muda, tentu ini menjadi pengorbanan yang berat. Saya tidak mau berpura-pura, itu berat.”
Hal ini tak mungkin dilaluinya tanpa dukungan keluarga. Ibunya memiliki peran penting dan “dalam banyak hal ia menjadi bayangan seorang ‘ibu’ bagi anak-anak ketika sang kapten bertugas jauh dari rumah”. Serupa dengan suaminya, yang seringkali harus cuti dari pekerjaannya.
“Bagi saya, hal yang membuat ini mudah adalah mengetahui bahwa anak-anak mendapatkan cinta dan dukungan dari orang disekeliling mereka sebagaimana saya akan memberikannya.”
Keluarga sang kapten bermigrasi dari Mesir ketika ia masih berusia 3 tahun. “Pada saat orangtua saya migrasi ke Australia, mereka sudah bertekad untuk menjadi orang warga negara Australia.”
Jembatan Budaya
Wanita ini sekarang menjabat sebagai Penasehat Strategis Urusan Islam di bawah Pimpinan Angkatan Laut. Dalam peran itu, ia mendapat lencana Conspicuous Service Cross atas perannya sebagai jembatan budaya.
Tujuannya kini mengajak lebih banyak kaum muslim untuk bergabung dengan pasukan pertahanan. Ada sekitar 100 orang tentara muslim di antara 45.000 orang tentara. Sebanyak 27 orang di antara mereka bertugas di Angkatan Laut.
“Banyak muslim Australia yang teraniaya oleh kampanye militer kami sebelumnya, mengakibatkan ketidaknyamanan dan kesulitan. Kampanye militer itu telah memberikan dampak kepada banyak orang yang tak bersalah.”
Ia mengatakan serangan-serangan teroris telah membajak aspek ajaran agama untuk membenarkan tindakan-tindakan telah menciptakan “ketakutan dan ketidakpastian terhadap non-muslim.”
“Bagi sejumlah orang, hal itu dilihat sebagai keseluruhan masyarakat muslim. Sejumlah kalangan muda muslim melihat ini secara hitam dan putih, “kami dan kalian,” kata sang kapten.
“Mereka tidak memiliki kedewasaan untuk melihat batasan-batasan dan memahami bahwa tidak semua orang memiliki cara pandang tentang mereka. Hal ini meruntuhkan rasa percaya diri generasi muda,” lanjut dia.
Pesannya kepada mereka, “Kamu bisa menjadi warga Australia yang bangga dan mencintai bangsa besar ini. Pada saat yang bersamaan tetap setia terhadap tanah kelahiranmu dan mencintai asal-usulmu dan menarungi kedua dunia dan komunitas. Itu cara saya menjalani hidup dan saya ingin membantu mereka untuk menemukan jalan dalam kedua kehidupan itu."
Dan ia pun berbagi pengalamannya sendiri, termasuk ketika bertugas pada awal Perang Irak 2003.
“Selalu berat, ke manapun tugasnya, termasuk Irak. Itu saat-saat yang rumit, meskipun ada momen-momen menarik ketika saya berpikir untuk bangsa ini,” tutur dia.
“Kita hanya sekedar alat bagi pemerintah kita yang terpilih secara demokratis dan saya kira itulah yang diterima dan dimengerti secara luas. Secara pribadi itu menjadi itu telah menjadi bagian dari tugas dalam organisasi saya. Inilah peran saya, inilah yang saya pilih.”
(Alx/Rcy)
Advertisement