Liputan6.com, Molenbeek - Remaja itu menatap nanar jalanan Brussels lewat jendela bus. Jejaran kafe, gedung balai kota, dan trotoar yang kelabu di bulan November. Pikirannya mengembara...
"Aku nyaris, nyaris meninggalkan negeri ini. Pikiranku hanya berpusat pada satu: Suriah, Suriah dan ISIS," kata remaja 18 tahun kepada Guardian, yang dilansir Liputan6.com, Jumat (27/11/2015).
Maysa --julukannya -- sama seperti remaja lainnya, laiknya gadis belia di lingkungannya di luar kotaibu kota Belgia itu. Kakeknya datang dari Maroko 50 tahun yang lalu. Sementara, orangtuanya sukses membangun karier dan rumah yang indah buat anak-anak mereka.
Advertisement
Maysa berbicara multi bahasa dengan fasih, bahasa Prancis dan Flemish. Ia juga lancar berbicara Arab dan Inggris yang ia dapat dari sekolah dan les musiknya. Ayah ibunya Muslim yang taat, cenderung moderat. Nilai-nilai di sekolahnya bagus, dan dia punya banyak teman.
"Guruku memanggilku ray of sunshine--pembawa kebahagiaan," ujar Maysa, yang nama sesungguhnya disamarkan atas permintaan dirinya.
Setahun lalu, 'pancaran kebahagiaan' darinya meredup. Pertama, ia memutuskan untuk menutup diri. Tidak ada lagi menari dan menyanyi, kegiataan yang dulunya ia sukai.
Baca Juga
Juga tak ada musik, baik itu musik rap atau lainnya. "Kalau ingat itu, rasanya seperti ada sebuah lubang hitam dalam hidupku," tutur Maysa lagi.
Diawali dari media sosial, hidupnya berubah. Awalnya Maysa memakai jilbab untuk menutupi berat badannya yang menggemuk. Namun, saat ia 'selfie' penampilan barunya di meda sosial, ia didekati dengan remaja perempuan seumuran.
Mereka berdua ngobrol dengan penampilan barunya dan akhirnya setuju untuk bertemu dan belanja barsama. Maysa lalu diperkenalkan dengan kelompok perempuan seumurnya dengan memiliki kesamaan latar belakang. Kecuali satu orang perempuan, yang baru saja jadi mualaf, seorang imigran dan tinggal di kawasan miskin Brussels.
Maysa pun akhirnya sering berkumpul bersama teman barunya itu, jalan-jalan dengan kelompoknya itu. Mereka sering bertemu di kedai burger murah di tengah kota Brussels, atau di kafe, namun tidak pernah sekalipun berkumpul di rumah salah satu di antaranya atau di masjid dan di pusat keagaamaan lainnya.
Topik pembicaraannya seputar Islam. Lalu, berubah menjadi politik dan Muslim. Hingga suatu saat, mereka berdiskusi tentang ISIs dan kehidupan baru kekalifahan serta keindahan apabila menjalankannya.
Satu orang temannya mengaku pernah berhubungan dengan perempuan militan Belgia di Suriah yang mempunyai suami 'pejuang' ISIS.
"Mereka mengatakan bahwa tidak ada itu kriminal, tidak ada itu diskriminasi di Negara Islam. Mereka juga berbicara tentang hubungan antara pria dan wanita, dan mengatakan aku akan mendapatkan suami yang baik, biarpun aku adalah salah satu istrinya," kenang Maysa.
Mereka bercerita kepada Maysa bahwa para pejuang itu melawan penindas. Namun, tak ada cerita tentang kekerasan atau eksekusi.
Dalam beberapa minggu, teman barunya itu memberi Maysa sebuah telepon genggam murahan dengan sebuah kartu telepon pra bayar di dalamnya. Mereka mengatakan agar ia merahasiakan telepon itu, dan dengan nomor itu, Maysa akan dihubungi kapan dan di mana pertemuan berikutnya di terjadi.
"Sekang aku baru sadar, aku sama sekali tidak tahu tentang mereka. Hanya nama depan saja, tapi aku tak pernah mempertanyakan siapa nama lengkap mereka," ujar Maysa lagi..
Datang dari Keluarga Berantakan
Kini jelas, bahwa Belgia punya masalah ekstrimis di negerinya. Tak pernah terpikirkan bahwa warganya berada di balik serangkaian serangan teroris Paris pada 13 November lalu yang membunuh 130 orang. Mereka lahir dan tumbuh di Brussels dan mereka kemungkinan merencakan serangan lainnya di negara itu.
Dan di 18 bulan terakhir, beberapa serangan terjadi di Belgia.
Dalam dekade terakhir, banyak pemuda (dan pemudi) dengan sukarela pergi ke Afghanistan dan Irak. Namun, eskalasi kekerasan yang terjadi setelah Arab Spring membuat gelombang 'sukarelawan' baru datang ke negara-negara berkonflik. Lebih dari 500 warga Belgia pergi menuju Suriah. Angka itu menunjukkan Belgia sebagai negara terbesar 'pengekspor' legiun asing di antara negara Eropa lainnya. Dari angka tersebut, 50 adalah perempuan.
Itu tidak luar biasa karena ada ratusan perempuan Prancis dan Inggris memilih meninggalkan hidupnya untuk tinggal di daerah yang dikuasai ISIS. Kebanyakan perempuan itu menjadi ekstremis datang dari keluarga bermasalah. Contohnya adalah teroris Hasna Ait Boulahcen yang tewas oleh polisi saat penyerbuan pencarian pelaku teror Paris.
Teman-teman yang mengenal Hasna adalah perempuan muda yang tak stabil dan datang dari keluarga berantakan. Hidupnya tak jauh dari narkoba, minuman keras, rokok dan pesta. Enam bulan sebelum ia tewas, perempuan 26 tahun itu menukar kacamata hitam, jeans, sepatu koboinya dengan baju gamis dan kerudung. Ia juga berkali-kali mengirimkan SMS ke teman-temannya bahwa ia akan berangkat ke Suriah. Ibunya mengatakan kepada media, anak perempuannya itu telah dicuci otaknya oleh para ekstremis.
"Keluarganya jelas tak sadar perubahan pada anaknya. Kebanyakan mereka senang karena hidup anaknya berubah jadi lebih tenang, tak ada pesta-pesta lagi,"kata Bachir M'Rabet, seorang pendidik yang bekerja untuk orang-orang muda di lingkungan Molenbeek, Brussels, di mana banyak dari penyerang Paris dibesarkan dan di mana banyak Belgia militan berasal.
Namun banyak rekrutan perempuan, seperti Maysa, berasal dari rumah yang relatif lebih stabil, kendati sesekali ada percikan emosi dengan orangtuanya.
Johan Leman, seorang antropolog dan veteran aktivis anti-rasisme yang juga bekerja di Molenbeek, mengatakan perekrut sering mengatakan remaja orangtua mereka tidak tahu "benar Islam". "Mereka memberikan proses khas remaja yaitu pemberontakan dalam dimensi Islam," kata Leman.
Advertisement
Diancam dan Nyaris Berangkat ke Suriah
Dalam hitungan minggu setelah bertemu teman-teman barunya, di sekolah Maysa merasa menderita. Dalam beberapa bulan, dia kerap absen. Dia menambahkan sarung tangan dan cadar pad abusananya.
Kemudian datang kabar bahwa seorang pemuda yang dulu pernah dekat dengan Maysa meninggal di Suriah. Dia pergi ke zona konflik dua tahun sebelumnya dengan sekelompok remaja dari Brussels yang semuanya berasal klub seni bela diri yang sama. Kabar buruk itu dimanfaatkan oleh kenalan barunya. "Kamu harus melakukan tugasmu. Kamu harus pergi ke Suriah," cerita Maysa saat ia diberitahu oleh kelompoknya.
Tekanan intensif kepadanya mulai terasa.
Tidak ada lagi diskusi tentang kelompok militan lainnya, isu-isu politik yang lebih luas di Eropa atau dunia Muslim, atau bahkan ajaran ulama ekstremis terkenal. Semuanya hanya berfokus pada ISIS.
"Segala sesuatu baik itu ajaran, datang dari ISIS. Itulah yang mereka katakan," kata Maysa. "Aku baru saja ke titik di mana akan siap pergi ke Suriah. Aku percaya apa yang aku dengar. Namun, ketika setelah aku melihat video pemenggalan aku menangis. "
"Ini adalah politik. Ini adalah tentang orang-orang yang mencari sensasi menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ini adalah subkultur anak muda ... dan kelompok sebaya memainkan peran besar, "kata Profesor Rik Coolsaet, seorang ahli militansi Islam yang berbasis di Brussels.
Krisis datang lebih awal musim semi ini. Maysa diberitahu kelompoknya harus meninggalkan Brussels secepatnya. Dia harus melakukan perjalanan, dengan dokumen lengkap atau tidak.
Namun sesuatu yang menahannya. Maysa meminta paspor kepada ibunya. Mencurigai ada sesuatu, orangtuanya segera menyembunyikan dokumen itu,
Maysa mengatakan kepada pemimpin grupnya bahwa paspornya robek. Dan kemudian datang ancaman: jika dia tidak bepergian dengan mereka, Maysa akan dilacak, keluarga dan teman-teman juga, dan konsekuensinya akan mengerikan.
Minggu ini Brussels tetap menerapkan siaga tinggi atas ancaman serangan teroris. Hari ini adalah tujuh bulan sejak Maysa mengungkapkan "rahasia" kepada polisi Brussels. Ancaman mereka mungkin belum dirasakan, tapi dia tidak melupakan mereka.
Maysa sekarang memakai celana jeans, T-shirt dan sweater seperti sebelumnya. Kuku jari dicat kembali. Sebuah syal berwarna-warnai menutupi kepalanya. Dia belajar lagi, tapi gelisah. Dia ingin meninggalkan Brussels, bahkan Belgia. Ia punya impian untuk hidup dan bekerja di London, mungkin di industri musik.
Pada ponselnya terdapat gambar-gambar berbagai wanita, memakai baju tertutup dan serta tanda jari "V, simbol kemenangan".
"Saat diradikalisasi, aku tidak berkuasa atas pikiranku. Aku tak tahu siapa diriku," tutupnya. (Rie/Ein)