Mengerikan, Pengungsi Suriah Terjangkit Penyakit 'Zombie'

Leishmaniasis, sejauh ini mengontaminasi Suriah, khususnya wilayah kekuasaan ISIS seperti Raqqa, Deir al-Zour dan Hasakah.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 29 Mei 2016, 19:29 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2016, 19:29 WIB
Mengerikan, Pengungsi Suriah Terjangkit Penyakit 'Zombie'
Ieishmaniasis, sejauh ini, mengkontaminasi Suriah, khususnya wilayah kekuasaan ISIS seperti Raqqa, Deir al-Zour dan Hasakah (Reuters/Dailymail) .

Liputan6.com, Baghdad - Sebuah wabah penyakit menular yang menyerang Suriah, kini telah menyebar ke seluruh Timur Tengah. Hal itu bersamaan dengan penyebaran jutaan pengungsi perang.

Penyakit kulit leishmaniasis merupakan penyakit parasit yang ditularkan melalui infeksi gigitan lalat pasir. Wabah tersebut menimbulkan bekas luka berwarna keunguan pada wajah, menyebar dan tanpa obat.

Leishmaniasis kulit adalah salah satu dari 17 penyakit tropis yang 'diabaikan' oleh WHO.

Bersamaan dengan sakit perut parah, penyakit ini juga menyebabkan luka terbuka pada kulit, kesulitan bernapas, pendarahan hidung dan kesulitan menelan.

Menurut laporan yang dikutip dari Daily Mail, Minggu (29/5/2016), Leishmaniasis sejauh ini mengontaminasi Suriah, khususnya wilayah kekuasaan ISIS seperti Raqqa, Deir al-Zour dan Hasakah.

Perang saudara yang terjadi di wilayah tersebut, menghancurkan fasilitas kesehatan, ribuan tenaga medik tewas dan rumah sakit hancur.

Penyerangan demi penyerangan, mengakibatkan kurangnya sumber air bersih. Bom yang diluncurkan, menyebabkan pipa-pipa air rusak dan menjadi tempat berkembang biak bagi lalat pasir. Hal tersebut memungkinkan itu penyakit berkembang.

Pra duga kemunculan parasit tersebut juga disampaikan oleh kelompok Bulan Sabit Merah Kurdi. Kelompok itu mengatakan, penyebaran penyakit kulit itu juga disebabkan oleh kegemaran ISIS membuang mayat membusuk di jalanan.

Namun, pernyataan tersebut disangkal oleh para ilmuwan di School of Tropical Medicines.

Ieishmaniasis, sejauh ini, mengkontaminasi Suriah, khususnya wilayah kekuasaan ISIS seperti Raqqa, Deir al-Zour dan Hasakah (www.expres.cz).

Seiring dengan penyebaran pengungsi, penyakit kulit mengerikan tersebut juga ikut berpindah dan mulai menginfeksi negara tetangga seperti, Lebanon, Turki dan Yordania.

Antara tahun 2000 hingga 2012, hanya ada enam kasus yang dilaporkan dari Lebanon. Namun,pada tahun 2013, penyakit tersebut berkembang dengan sangat cepat. Tercatat ada sekitar 1.033 kasus yang dilaporkan -- 96 persennya terjangkit pada pengungsi Suriah.

"Penyakit ini berkembang dengan sangat cepat. Bisa dilihat dari pertumbuhannya dari tahun 2012 ke 2013. Sangat cepat," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Lebanon.

Kecemasan akan terjangkit penyakit juga dirasakan oleh masyarakat Arab Saudi. Dengan berdatangannya para migran dari Yeminis, dikhawatirkan juga membawa wabah penyakit bersama mereka.

Banyaknya pemukiman pengungsi sementara juga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit. Hal itu disebabkan kekurangan gizi, perumahan yang buruk, fasilitas medis yang tidak lengkap dan kepadatan penduduk.

Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi lalat pasir, yang hanya beroperasi pada suhu yang lembab -- minimal 27/28 derajat di malam hari -- untuk menyebarkan penyakit.

Misalnya saja, laporan kasus dari pemukiman pengungsi di Nizip, Turki selatan di mana terdapat ratusan kasus warga yang terjangkit penyakit ini.

"Ini situasi yang sangat buruk. Penyakit ini telah menyebar secara dramatis di Suriah dan juga ke negara tetangga seperti Irak, Lebanon, Turki dan bahkan ke Eropa selatan. Belum dapat dipastikan jumlah korban yang terjangkit penyakit," kata Dr Waleed Al-Salem, salah satu penulis penelitian di Liverpool School of Tropical Medicine

Ieishmaniasis, sejauh ini, mengkontaminasi Suriah, khususnya wilayah kekuasaan ISIS seperti Raqqa, Deir al-Zour dan Hasakah (www.expres.cz).

Salem juga menyatakan, penyebaran infeksi setelah gigitan lalat, bisa memakan waktu dua hingga enam bulan. Kemungkinannya, seorang pengungsi telah terinfeksi selama berada di Suriah. 

Untuk mengatasi penyakit ini, para ilmuwan telah menyerukan deteksi dini dan pengobatan, pelatihan bagi dokter, meningkatkan fasilitas di kamp-kamp pengungsi dan pengawasan lanjutan bagi pengungsi yang terjangkit wabah. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya