Liputan6.com, Jakarta Banyak orang percaya bahwa cacar air hanya dialami sekali seumur hidup. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun umumnya demikian, kenyataannya virus varicella-zoster (VZV), penyebab cacar air, dapat tetap berada di dalam tubuh setelah seseorang sembuh. Hal ini dapat menyebabkan munculnya penyakit lain di kemudian hari, terutama jika sistem kekebalan tubuh melemah.
Dalam podcast Kementerian Kesehatan RI, dr. He Yeon Asva Nafaisa, M.Sc, Sp.DVE, membongkar mitos seputar cacar air dan menjelaskan bagaimana penyakit ini sebenarnya bekerja dalam tubuh kita.
Baca Juga
Infeksi Kulit yang Sangat Menular
Cacar air disebabkan oleh virus varicella zoster dan ditandai dengan munculnya lenting berisi air di permukaan kulit. Meski terkesan ringan, cacar air sebenarnya sangat mudah menular.
Advertisement
“Manifestasinya utamanya itu pada kulit, berupa adanya plenting, plenting isi air pada tubuh dan dia sifatnya sangat menular,” jelas dr. Asva, dikutip Jumat (11/4).
Penularan cacar air bisa terjadi melalui udara (airborne), terutama dari droplet saluran pernapasan, atau kontak langsung dengan cairan dari lenting cacar yang pecah.
“Dia memang sifatnya airborne. Jadi, dia dapat mudah sekali ditularkan melalui droplet dari saluran pernafasan, maupun bisa juga dari kontak langsung dari pecahan plenting isi air yang ada di tubuh kita,” ujar dr. Asva.
Gejala dan Pola Penyebaran Ruam
Cacar air tak langsung muncul dengan ruam. Ada fase awal yang kerap kali luput dari perhatian.
“Biasanya di awal akan muncul yang namanya gejala prodromal. Umumnya kurang lebih dua sampai tiga hari. Umumnya pasien ini akan merasakan adanya demam, kemudian tubuh terasa tidak enak, adanya nyeri kepala, nafsu makan menurun, sakit tenggorokan dan lain sebagainya,” jelas dr. Asva.
Barulah setelah itu, ruam khas cacar air mulai terlihat. Ruam berupa kemerahan yang diikuti dengan plenting berisi air.
“Ruamnya ini khasnya biasanya dia muncul di area seputaran wajah dan kepala terlebih dahulu, berupa adanya kemerahan, kemudian muncul plenting isi air tadi, yang semakin lama dia bisa menyebar ke hampir seluruh tubuh, ke batang tubuh maupun ke tungkai maupun lengan,” katanya.
Advertisement
Hanya Sekali Seumur Hidup? Tidak Selalu
Salah satu pertanyaan besar seputar cacar air adalah: apakah benar hanya bisa terjadi satu kali seumur hidup?
Menurut dr. Asva, sebagian besar kasus memang hanya terjadi satu kali, tetapi bukan berarti virusnya benar-benar hilang dari tubuh.
“Kalau di episode pertama, kita akan kena cacar air, terkena si varisela ini. Kemudian biasanya virusnya ini nanti sebagian akan dorman atau tidur, masuk ke dalam salah satu ganglion saraf. Tapi suatu saat dia bisa terjadi yang namanya reaktivasi,” paparnya.
Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus varicella zoster bisa aktif kembali dan muncul dalam bentuk lain yang dikenal sebagai herpes zoster atau cacar api.
“Kalau misalnya kondisi tubuh kita, imunnya sedang tidak baik, itu dia suatu saat bisa muncul kembali sesuai dengan area kulit tertentu, atau kita sebutnya dermatom. Nah, itulah yang disebut sebagai herpes zoster,” tambah dr. Asva.
Artinya, meskipun seseorang hanya mengalami cacar air sekali, virusnya bisa kembali muncul di masa depan sebagai penyakit yang berbeda namun berasal dari penyebab yang sama.
Anak-Anak Lebih Rentan, Tapi Dewasa Juga Bisa Terkena
Cacar air memang lebih sering terjadi pada anak-anak, tetapi bukan berarti orang dewasa kebal. “Ternyata orang dewasa juga ada beberapa kasus yang kena si cacar air ini,” ujar dr. Asva.
Risiko lebih tinggi biasanya terjadi pada mereka yang belum pernah terkena cacar air di masa kecil dan belum mendapatkan vaksinasi.
Dengan pemahaman ini, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa cacar air bukan hanya sekadar penyakit masa kecil yang bisa diabaikan. Selain mudah menular, komplikasinya pun bisa lebih berat pada kelompok usia tertentu atau pada individu dengan daya tahan tubuh rendah.
Pencegahan dan Kesadaran Diri
Langkah pencegahan terbaik terhadap cacar air adalah vaksinasi dan menjaga daya tahan tubuh.
“Tekanan imun yang menurun bisa jadi pemicu reaktivasi virus. Karena itu, gaya hidup sehat dan perhatian terhadap kekebalan tubuh menjadi kunci,” tegas dr. Asva.
Advertisement
