Liputan6.com, Jakarta - Perempuan itu mengambil keffiyeh. Di depan cermin, ia memastikan kain bermotif kotak-kotak itu terpasang dengan pas di kepalanya.
Lalu, buku doa diambil. Menghadap ke arah Yerusalem, untaian kalimat permohonan pada Tuhan meluncur dari bibirnya. Semua dilantunkan dalam Bahasa Ibrani.
Elisheva Wiriaatmadja, nama perempuan tersebut, adalah penganut Yudaisme. Ia mengaku, pencarian spiritual mengarahkannya untuk memeluk ke agama leluhurnya yang Bangsa Yahudi.
Liputan6.com menemui salah satu pendiri Yayasan Eits Chaim Indonesia itu untuk mencari tahu soal pemeluk Yahudi di Nusantara.
Sebelumnya, perihal tersebut diberitakan secara luas terkait kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken ke Tanah Air pada April 2016 lalu.
Kala itu, Blinken menyempatkan diri untuk menghadiri perayaan Paskah Yahudi atau Passover yang digelar di Jakarta.
Baca Juga
Elisheva mengatakan, sudah lama komunitas Yahudi ada di Indonesia. Bahkan, hingga saat ini. "Kalau keturunan jumlahnya ada sekitar 2.000," kata dia.
Namun, tak semua dari mereka memeluk agama Yahudi. "Yang benar-benar kembali ke akar dan mengikuti Yudaisme tak sampai 200 orang."
Advertisement
Elisheva mengaku tak mudah menjadi pemeluk agama Yahudi di Indonesia. Khususnya untuk mendapatkan daging yang kosher atau buku-buku agama.
"Namun, kita menjadi Yahudi bukan karena gengsi, bukan karena keren, atau hanya ikut tren. Ini sungguh-sungguh pencarian karena Tuhan," kata dia. "Sehingga apapun tantangannya bisa diatasi."
Meski demikian, perempuan yang menghabiskan masa kecil di Jerman itu mengaku bersyukur, masyarakat Indonesia ternyata lebih terbuka daripada yang dipikirkan banyak orang.
Masalahnya, tambah Elisheva, banyak yang tidak berkesempatan untuk berinteraksi dengan pemeluk Yudaisme.
"Ada yang mengatakan, benci pada Yahudi, namun mereka tidak pernah tahu orang Yahudi seperti apa," kata dia. "Namun, ketika bertemu, tak ada alasan untuk benci."
Sejatinya, kata dia, ada persamaan antara umat Yahudi di Indonesia dengan pemeluk agama lain. "Kita satu bangsa. Kita bagian dari keluarga, masyarakat, tetangga. Ketika menyadari hal itu, Yahudi-nya bukan suatu penghalang."
Berikut penuturan Elisheva Wiriaatmadja selengkapnya:
Sinagog yang Rata dengan Tanah
Pernah ada sinagog di Indonesia, tepatnya di Jalan Kayon Surabaya. Sejarah menyebut, tempat ibadah Yahudi tersebut dibangun di atas Eigendom Verponding.
Bangunan mirip rumah berarsitektur Eropa itu didirikan oleh Joseph Ezra Izaak Nassiem pada tahun 1948.
Kini, sinagog satu-satunya tersebut telah rata dengan tanah. Area seluas 2.000 meter itu akan dijadikan lokasi sejumlah bangunan baru, termasuk hotel.
Terlepas dari soal keyakinan, Freddy H. Istanto ketua Sjarikat Poesaka Soerabaia menyayangkan bangunan yang masuk cagar budaya itu hancur.
"Karena berdasarkan UU No 11 tahun 2010, Pasal 104 dan 105, bangunan yang termasuk cagar budaya dilarang keras dibongkar, dan ada denda bagi siapapun yang berusaha membongkarnya," tutur Dekan Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra Surabaya ini kepada Liputan6.com.
Sebelumnya bangunan tersebut sempat disegel menyusul demonstrasi yang digelar di tengah konflik Palestina dan Israel yang kembali terjadi -- meski sejatinya bukan agama yang sedang berseteru di sana.
Seperti yang pernah diungkap Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Mehdawi: apa yang terjadi antara Israel-Palestina bukan konflik agama.
"Warga Yahudi ada di sepanjang sejarah kami, bahkan sebelum Israel didirikan," kata dia. "Dan mereka sama sekali tidak menganggap diri mereka sebagai orang Israel. Mereka memandang dirinya sebagai orang Palestina. Jadi, siapa bilang ada masalah agama?"
(Laporan: Dhimas Prasaja/Surabaya)
Advertisement