Liputan6.com, Washington DC - Pertarungan untuk menjadi orang nomor satu Amerika Serikat makin ketat. Donald Trump dari Partai Republik akan melawan jagoan Demokrat Hillary Clinton -- yang mencetak sejarah sebagai perempuan pertama yang resmi dicalonkan sebagai presiden AS.
Jalan Hillary ke Gedung Putih tak lepas dari dukungan mantan pesaingnya, senator Bernie Sanders yang bersikap legawa, dengan meminta mantan Menlu AS itu dipilih secara aklamasi dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat pada Rabu 26 Juli 2016.
Tak hanya Sanders, Presiden AS Barack Obama, juga menjadi pendukung paling berpengaruh Hillary.
Orang Nomor Satu di Negeri Paman Sam belakangan angkat bicara terkait skandal 20 ribu email petinggi Partai Demokrat di Wikileaks -- yang memicu kisruh di internal partai berlambang gajah, yang otomatis menjadi keuntungan bagi kubu Republik.
Advertisement
Muncul dugaan ada campur Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan hal itu tak dikesampingkan oleh obama.
"Semua memungkinkan," ujar Obama merespons apakah ada pengaruh Rusia dalam kontes persaingan antara Trump dan Hillary, seperti dilansir dari CNN, Rabu (27/7/2016).
"Begini, Donald Trump berulang kali mengungkapkan kekagumannya pada Vladimir Putin. Dan saya pikir, Trump mendapat dukungan liputan media yang luar biasa di Rusia," kata Obama dalam wawancara dengan NBC News.
Bukan tanpa alasan 'tuduhan' Obama dilayangkan kepada orang nomor satu di Rusia itu untuk menggiring kandidat pilihannya menuju Gedung Putih.
Ahli keamanan siber mengatakan, pembocoran email besar-besaran diduga datang dari Rusia. FBI kini tengah melakukan investigasi.
"Yang kami tahu... adalah Rusia telah meretas sistem kami. Tak hanya milik pemerintah, tapi juga milik swasta," terang Obama. Kendati demikian, ia tak bisa mengidentifikasi maksud dari serangan siber itu.
Komentar teranyar dari Presiden Obama ini adalah hal paling jauh yang dilakukan oleh pemerintah AS secara terang-terangan 'menyalahkan' Rusia yang telah melakukan serangan siber ke AS.
Dalam upaya mencegah serangan siber dari pemerintah asing, pihak AS dalam beberapa tahun terakhir memiliki kebijakan 'mempermalukan' para penyerang dengan menyebut nama secara umum, termasuk dari China, Korut dan Iran. Namun, tidak Rusia.
Penasehat keamanan dalam negeri Gedung Putih, Lisa Monaco mengatakan tak ada keengganan untuk menyebut Rusia, kendati investigasi tengah berlangsung.
Pemerintahan Obama menolak untuk menyebut Rusia adalah peretas Konvensi Demokrat, namun menlu AS John Kerry mengatakan, ia telah menyinggung isu ini kepada Menlu Rusia Sergei Lavrov setelah WikiLeaks memposting bocoran email secara online.
Trump sendiri mengakui kekagumannya terhadap Putin meski AS telah menjatuhkan sanksi ekonomi pada Rusia terkait intervensinya di Ukraina.
Bagi Demokrat, Trump adalah 'kandidat impian bagi Moskow' -- yang takut dengan Hillary Clinton.
Namun, bagi ketua kampanye Trump, Paul Manafort, pernyataan Demokrat adalah konyol.
Pernyataannya senada dengan sang miliarder nyentrik. "Dalam rangka mengomentari kebodohan WikiLeaks, Demokrat mengatakan mungkin Rusia main mata dengan Trump. Itu gila!" tulis Trump.
"Sebagai catatan, saya tak memiliki satu sen pun investasi di Rusia!"