Liputan6.com, Washington, DC - Kekejaman ISIS bukanlah cerita baru, melainkan peristiwa yang berulang kali terjadi. Korban yang masih hidup dan berhasil meloloskan diri pun tak selamanya memilih bungkam. Ada yang memutuskan untuk bersuara, bahkan melakukan perlawanan.
Adalah sosok Nadia Murad yang bersama pengacaranya, Amal Clooney, bertekad menyeret ISIS ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Seperti dikutip dari Daily Mail, Sabtu (24/9/2016) Nadia yang merupakan perempuan keturunan Yazidi diculik ketika berumur 19 tahun dan dijadikan budak seks.
Tak hanya itu kenyataan pahit yang harus diterima Nadia. Enam dari delapan saudara laki-laki dan ibunya pun tewas di tangan ISIS. Peristiwa ini terjadi dua tahun lalu ketika kelompok teroris menyerang kawasan Irak utara.
Dalam sebuah wawancara televisi bersama Nadia, Amal yang dikenal sebagai pengacara hak asasi manusia ini mengungkap kisah kelam kliennya. Ia mengatakan, Nadia diperkosa oleh dua orang pada saat yang bersamaan hingga ia jatuh pingsan.
"Saya tidak bisa membayangkan hal yang lebih buruk yang dilakukan oleh manusia ke manusia lainnya," ujar Amal yang merupakan istri dari aktor papan atas Hollywood, George Clooney.
Ketika disinggung terkait motivasinya menangani kasus yang menimpa Nadia dan tekadnya untuk menggugat ISIS, Amal memiliki jawaban singkat. "Ini pekerjaan saya," kata dia.
Pengacara berdarah Libanon itu menegaskan risiko yang kemungkinan akan didapatnya ketika menangani perkara Nadia tak sepadan dengan urgensi untuk memerangi kebrutalan yang dilakukan ISIS terhadap sesama manusia, khususnya kepada perempuan.
Advertisement
Ia pun meminta bantuan dari berbagai pihak untuk mengumpulkan bukti-bukti tindakan keji ISIS.
Baca Juga
"Saya merasakan sebuah kebiadaban. Sangat mengerikan mendengar kesaksian dari anak-anak perempuan berusia 11 dan 12 tahun, tentang apa yang terjadi pada mereka. Sementara kita belum melakukan sesuatu," tutur Amal yang tak hanya mendengar kesaksian Nadia, tetapi juga mempelajari kisah sejumlah korban ISIS lainnya.
Amal yang juga dikenal sebagai sosok yang fashionable itu menegaskan bahwa ISIS harus diadili. Menurut dia, mengebom kelompok itu saja tidak cukup.
"Kamu tidak bisa membunuh gagasan dengan cara tersebut. Menurut saya, salah satu cara untuk melawan adalah dengan mengekspose kebrutalan dan korupsi mereka. Dan bagian dari cara yang harus ditempuh adalah melalui pengadilan," tegas Amal.
Bertaruh Nyawa
Perempuan yang juga menjadi penasihat hukum bagi pendiri WikiLeaks, Julian Assange, ini menjelaskan banyak dari korban ISIS melihat sosok Nadia Murad sebagai "masa depan" dan "harapan" mereka.
Menurut Amal, itulah mengapa ia dan Nadia rela bertaruh nyawa dalam kasus ini.
"Ya, saya mempertaruhkan hidup saya. Tapi saya tidak memiliki kehidupan tanpa memberikan harapan kepada para korban lainnya," jelas Nadia yang beberapa hari lalu diangkat menjadi Duta Persahabatan PBB.
Amal mengatakan sebelum memutuskan untuk mengambil kasus ini ia terlebih dulu mendiskusikannya dengan sang suami.
"Menurut saya tidak semua orang bisa merasakan keberanian atas apa yang dilakukan Nadia. Ini bukan lelucon. Ini ISIS dan mereka telah mengirim ancaman yang sangat spesifik dengan mengatakan "kami akan mendapatkan Anda kembali"," ungkap Amal.
Ia pun mengutip ancaman ISIS, "Kami akan melakukan segalanya untuk mendapatkan Anda kembali".
Wanita berusia 38 tahun itu pun menceritakan pertemuannya dengan Nadia untuk pertama kali. Berjam-jam mereka menghabiskan waktu dengan duduk di lantai rumah Amal, sementara Nadia berkisah tentang kebrutalan ISIS yang dialaminya.
Dukungan pun diutarakan oleh George Clooney. "Saya pikir apa yang dia lakukan luar biasa," tegas pemain film Money Monster itu.
Pekan lalu, Amal dan Nadia berkesempatan pidato di majelis Sidang Umum PBB. Mereka meluncurkan kampanye melawan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan ISIS.
"Saya berharap bisa mengatakan bahwa saya bangga berada di sini, namun faktanya tidak. Sebagai seorang manusia, saya malu mengabaikan tangisan mereka untuk meminta pertolongan," ujar Amal kala itu.
Advertisement
Mungkinkah Mengadili ISIS?
Upaya Amal untuk mengadili ISIS akan mendapat batu sandungan. Hal ini disampaikan sejumlah ahli mengingat Irak dan Suriah--negara di mana ISIS bermarkas-- belum meratifikasi Statuta Roma--perjanjian pembentukan ICC.
"Cara yurisdiksi ICC bekerja adalah negara harus menjadi pihak penandatangan statuta agar pengadilan memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan," ujar guru besar hukum dari University of Sydney, Australia, Professor Ben Saul, seperti dikutip dari Huffington Post.
"Jika Irak atau Suriah menandatangani Statuta Roma, maka ada dua rute ICC untuk memiliki yurisdiksi. Pertama, melalui rujukan dari pemerintah negara yang bersangkutan. Kedua, jaksa memiliki kekuatan untuk memulai penyelidikannya meski pemerintah negara yang bersangkutan tidak menginginkannya," jelas Saul.
Meski demikian, kedua hal tersebut dinilai nyaris tidak mungkin terjadi. Namun apa yang terjadi seandainya Dewan Keamanan PBB beserta jaksa ICC "nekat" melanjutkan penyelidikan dengan mengabaikan yurisdiksi?
"Jika Anda mulai menargetkan ISIS untuk penyelidikan, maka orang-orang akan mempertanyakan mengapa hal serupa tidak dilakukan terhadap kelompok bersenjata lain seperti 'pasukan maut' yang dimiliki pemerintah Irak misalnya," kata dia.
Lebih lanjut, Saul mengungkapkan apa yang sedang diupayakan Amal dan Nadia adalah mengumpulkan dukungan untuk melakukan penyelidikan.
"Mereka melakukannya untuk meletakkan dasar bagi tuntutan politik ke depan. Bukti-bukti perlu dikumpulkan ketika peristiwanya masih 'segar'. Yang lazimnya terjadi seringkali memakan waktu tahunan untuk mengajukan tuntutan, lihat saja di Amerika Latin, di mana ada yang membutuhkan waktu 30 tahun," jelas Saul.
Sementara itu, guru besar dari University of NSW, Professor Louise Chappell, mengatakan memungkinkan bagi ICC untuk menuntut anggota ISIS--bukan sebagai sebuah kelompok. Dengan catatan yang bersangkutan berada di negara penandatanganan Statuta Roma.
"Anggota ISIS di Australia misalnya. Karena kami (Australia) adalah bagian dari Statuta Roma. Namun kasus seperti ini tidak pernah terjadi," tegas Chappell.
Chappel pun setuju dengan gagasan agar Dewan Keamanan PBB memerintahkan jaksa ICC untuk melakukan penyelidikan. Namun lagi-lagi ini nyaris tidak mungkin terjadi mengingat Rusia memiliki pandangan berbeda terkait tekad untuk mengadili ISIS.
"Tidak ada yang mengatakan ini bukanlah kekejaman juga tidak ada yang mengatakan ini tidak boleh diselidiki lebih lanjut. Namun situasi politik riil tidak memungkinkan jaksa untuk menyelidiki dan memutuskan apakah kasus ini layak untuk dibuka," imbuh Chappell.