Upaya Ekstrem Pemerintah Jepang Cegah Yubari Jadi 'Kota Hantu'

Seiring dengan menyusutnya populasi manusia, sejumlah kawasan di Jepang terancam menjadi kota tanpa penghuni.

oleh Citra Dewi diperbarui 26 Sep 2016, 20:10 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2016, 20:10 WIB
Rumah yang dulunya diperuntukkan untuk para pekerja tambang di Yubari, Hokkaido
Rumah yang dulunya diperuntukkan untuk para pekerja tambang di Yubari, Hokkaido (Tomohiro Ohsumi/Bloomberg)

Liputan6.com, Yubari - Sebuah kota bekas daerah tambang di Jepang utara, Yubari, mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk memerangi tantangan terbesar, yakni penyusutan penduduk.

Ketika berada di puncak ekonomi pasca-perang pada 1960-an, populasi Yubari di Hokkaido telah menurun lebih dari 90 persen, yakni hanya tersisa 9.000 orang. Hal tersebut terjadi karena para manula telah meninggal dan anak-anak muda memilih pindah ke kota yang lebih besar.

Dikutip dari Bloomberg, Senin (26/9/2016), 10 tahun lalu Yubari menjadi kota pertama di Jepang yang menyatakan kebangkrutan.

Untuk mencegah Yubari berubah menjadi 'kota hantu', pemerintah kota itu melaksanakan kebijakan esktrem.

Mereka mulai menggabung sekolah, memotong jumlah PNS dan gajinya, menghentikan dana untuk kolam renang umum, toilet, dan taman, membatasi layanan seperti rute bus dan pembersihan salju, serta menurunkan kualitas rumah sakit menjadi klinik.

Namun, upaya paling drastis yang dilakukan oleh pemerintah lokal adalah dengan merelokasi ratusan warga yang tinggal di perumahan umum pinggiran kota ke apartemen berbiaya rendah yang lebih dekat ke pusat kota.

"Yubari berpotensi menjadi contoh dari compact city masa kini," ujar peneliti senior di Mitsui Global Strategic Studies Institute di Tokyo, Yoshio Kurihara.

 Ia menambahkan, percobaan itu merupakan model yang sangat penting bagi Jepang.

Yubari mengalami penurunan penduduk secara drastis dan menjadi tantangan besar bagi pemerintahnya ( Tomohiro Ohsumi/Bloomberg)

"Hasil yang sukses dari percobaan kota ini dapat digunakan untuk skala nasional," imbuh dia.

Compact city merupakan sebuah konsep desain dan perencanaan perkotaan yang terfokus pada kepadatan hunian tinggi dengan penggunaan lahan campuran dan mengefisienkan tata letak kota semaksimal mungkin.

Menurut proyeksi Dewan Kebijakan Jepang, pada 2040 sekitar setengah munisipalitas atau 896 kota diprediksi akan mengalami kepunahan pada masa depan karena angka perempuan yang mampu bereproduksi menurun di bawah level standar.

Lebih dari 20 persen area pemukiman di Jepang diprediksi akan menjadi kota hantu pada 2050. Data dari National Institute of Population and Social Security Research menunjukkan, 16 persen populasi menurun selama 25 tahun, dengan 20 persen munisipalitas mengalami penurunan di bawah 5.000 orang.

Compact city dinilai menjadi solusi yang dipertimbangkan sebagai model untuk daerah-daerah yang menghadapi penurunan populasi agar tetap bertahan.

Reaksi Warga

Menurut seorang profesor yang mengkhususkan diri dalam perencanaan kota di Hokkaido University dan terlibat dalam rencana compact city Yubari, Tsuyoshi Setoguchi, warga awalnya bereaksi negatif terhadap rencana relokasi.

Ia dan muridnya bertemu dengan warga yang rumahnya direlokasi selama setahun untuk memberikan rincian dari rencana dan meyakinkan adanya manfaat relokasi kepada mereka.

"Reaksi pertama mereka adalah, 'Kami semua tua dan akan meninggal dalam 10 tahun lagi, lalu kenapa kamu tak meninggalkan kami sendiri' atau mereka berkata bahwa berpindah tempat terlalu melelahkan di usia senja," ujar Setoguchi.

Namun tak semua warga menanggapi relokasi itu dengan negatif. Yoneo Watabiki (76), tak memiliki keraguan untuk meninggalkan perumahan rakyat yang ia tempati bersama keluarganya selama beberapa dekade.

"Aku senang bahwa aku pindah. Sekarang aku bisa mandi di rumahku sendiri dan tak usah pergi ke kamar mandi umum. Aku bisa mandi kapanpun aku mau," ujar Watabiki.

Sebuah cerobong asap dari bekas pabrik pengolahan batu bara di Yubari (Tomohiro Ohsumi/Bloomberg)

Warga lain, Kiyoshi Yanagihara (97) mengatakan, ia menikmati memiliki tempat baru untuk mandi, serta lebih mudah untuk menjangkau bahan pangan dan memiliki tetangga yang memasak untuk satu sama lain.

"Warga sekarang lebih membuat nyaman dibanding dulu--seperti surga dan neraka," ujarnya.

"Aku tak merasa kesepian karena orang-orang yang hidup bersamaku selama 20 dan 30 tahun direlokasi bersama," imbuh dia.

Sejak melakukan proses relokasi pada 2010 sejak 2015, Yubari telah memindahkan 275 rumah tangga atau sekitar 5 persen dari total. Dengan upaya tersebut, Yubari dapat menekan biaya perawatan dan pengelolaan perumahan hingga menjadi 70 juta yen per tahun atau sekitar Rp 9 miliar.

Walaupun warga Yubari kian menua, namun Wali kota Yubari, Naomichi Suzuki (35) mengatakan terdapat cara lain untuk membangun komunitas yang berhasil.

"Perawatan anak merupakan prioritas utama, dan kita secara cepat akan membangun perumahan dengan biaya sewa rendah untuk kaum muda, karena lingkungan yang menguntungkan mereka merupakan kunci untuk keberlanjutan kota," ujar Suzuki.

"Populasi Yubari diprediksi akan menurun hingga setengah pada 10 tahun dari sekarang, namun populasi bukan segalanya. Aku akan menilai dari apakah orang merasa senang berada di sini," imbuh dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya