Liputan6.com, Washington, DC - Selama masa kampanye pemilihan calon presiden AS, Donald Trump dan Hillary Clinton saling melemparkan tudingan sengit satu sama lain. Bocoran-bocoran skandal kedua kandidat dimuat di berbagai media AS.
Termasuk skandal pelecehan seksual yang dilakukan Trump. Beberapa media bahkan memiliki rekaman miliarder nyentrik itu kala berbicara tentang alat kelamin perempuan.
Selain itu, retorik Donald Trump membuat media mainstream beroplah besar, seperti Washington Post, New York Times dan belakangan USA Today dalam opininya terang-terangan mendukung Hillary dan menyebut miliarder nyentrik itu tak pantas jadi presiden AS.
Advertisement
Namun, dengan Trump jadi Presiden, kolumnis media dari Washington Post, Margaret Sullivan mewanti-wanti rekan-rekan pers dalam menghadapi manusia seperti Trump.
"Jurnalis diharapkan lebih baik, kuat dan berani daripada sebelumnya," tulis Sullivan pada Kamis (9/11/2016).
Dia menambahkan, Trump telah menebar kebencian terhadap media selama kampanyenya. "Sementara jurnalis hanya sekrup dalam mesin korporasi," lanjutnya.
Kebencian Trump terhadap media yang kerap mengkritiknya dianggap berpotensi membuatnya mengubah undang-undang pres di AS.Â
"Kita --wartawan-- tak bisa berbuat apapun selain bekerja sesuai hati nurani, dengan mengatakan kebenaran," ujar Sullivan.
Hal senada dilontarkan wartawan Dan Gilmor sekaligus pengajar di Arizona State University.
"Kini kita harus lebih berani dan lebih menggali isu lagi," kata Gilmor.
Namun, Sullivan tetap khawatir jika wartawan sudah bekerja sesuai dengan kaidah jurnalistik dan menghormati etika, akankah perusahaan tempat mereka bernaung akan melindunginya? Akankah media-media yang dahulu dengan terbuka menentang akan tetap terus mengkritik Trump. Dan kebebasan serta keselamatan pers pun terancam.
"Saya tak tahu harus menjawab apa, saya khawatir apakah organisasi media --termasuk Washington Post-- akan terus 'menantang' pria yang tak memiliki perasaan apapun kecuali haus pujian," terang Sullivan.
Trump mungkin masih akan membuka akses kepada media -- karena ia suka diekspose. Bahkan setelah melarang Washington Post untuk meliput kampanyenya, ia masih menerima wawancara dua wartawan Post. Selama 20 jam ia menghabiskan waktu dengan mereka yang tengah membuat buku tentangnya.
Namun, jangan artikan hubungan itu bersahabat. Komite Perlindungan Jurnalis benar ketika mereka memperingatkan betapa bahayanya pemerintahan Trump.
"Dalam berapa bulan, peringatan itu akan menjadi nyata. Ini menakutkan, tapi sekarang adalah waktu untuk memperkuat diri dan menjadi wartawan sebaik mungkin," tambah Sullivan.
"Hentikan ocehan 'kita harus pindah ke Kanada', di sini, di Amerika kita punya sesuatu yang pantas untuk dipertahankan," kata Jameel Jaffer, direktur Knight First Amendment Institute di Columbia University.
"Amandemen Pertama AS adalah melindungi warganya dari kekuasaan eksekutif, itu lah yang harus dipertahankan media," lanjut Jeffer.
Sullivan berkata bahwa jurnalis tak mungkin mengubah perilaku Trump tapi menahan ia dan pengikutnya membuat AS 'terbakar'.
"Saya juga berharap, perusahaan membantu jika kelak media berseteru dengan Trump," tutup Sullivan. Semoga.