Liputan6.com, Washington, DC - Dia pernah digambarkan sebagai "detektif politik paling berbahaya di Amerika". Sekarang, dia menjadi salah satu yang paling berkuasa di Negeri Paman Sam.
Sosok itu adalah Stephen Bannon, mantan eksekutif Breitbart News, media politik konservatif Amerika. Ia baru saja ditunjuk oleh presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump sebagai kepala strategi sekaligus penasihat senior pemerintahannya.
Baca Juga
Kehadiran Bannon di Gedung Putih disambut horor oleh sejumlah pihak. Apa sebabnya?
Advertisement
"Rasis, ekstrem kanan yang mewakili jejak dari Ruang Oval--kantor presiden. Jadi, waspadalah rakyat Amerika," cuit seorang konsultan politik Republikan, John Weaver yang juga merupakan kepala strategi John Kasich--politisi Republik yang pernah menjadi rival Trump dalam pertarungan konvensi partai.
Dan Pfeiffer, mantan penasihat senior Presiden Barack Obama mengatakan, "Bangsa ini menghela napas karena seorang nasionalis kulit putih baru saja mendapatkan pekerjaan sebagai orang kedua paling berpengaruh di Gedung Putih."
Bannon lahir dari keluarga miskin di Norfolk, Virginia. Ia tak menyelesaikan kuliahnya dan memilih menghabiskan waktu selama empat tahun berlayar di sebuah kapal perang yang ditugaskan ke Laut Arab dan Teluk Persia pada 1979.
Namun belakangan, ia kehilangan kepercayaan kepada panglima tertinggi sekaligus presiden AS saat itu, Jimmy Carter. Hal itulah yang membuatnya memutuskan hengkang dari angkatan laut dan mengejar gelar MBA di Harvard Business School.
Kelar kuliah ia bekerja di bank investasi global berbasis di New York, Goldman Sachs. Dan pada 1990, ia meninggalkan Goldman Sachs untuk memulai perusahaan investasi sendiri dengan beberapa rekannya. Maka lahirlah Bannon & Co.
Bank investasi yang didirikannya itu terakhir kali diketahui membiayai studio MGM dan menangani akuisisi ketika Polygram Records beralih ke bisnis film. Jalan panjang di investasi perbankan membawanya pada sebuah acara televisi, Seinfeld.
Dari program televisi itulah, Bannon memperoleh kekayaan sebelum akhirnya ia beralih profesi menjadi produser eksekutif sejumlah film termasuk di antaranya film Anthony Hopkins yang menjadi nominasi Oscar pada 1999, Titus. Terinspirasi oleh serangan 9/11 dan kekecewaannya terhadap Presiden Carter, ia pun mulai membuat film tentang politik.
"Aku berasal dari kalangan kerah biru, Katolik Irlandia, pro-Kennedy, keluarga pro-serikat dari Demokrat," ujar Bannon kepada Bloomberg seperti dikutip Telegraph.
"Aku tidak akan terjun ke politik sampai aku masuk ke angkatan laut dan melihat bagaimana Jimmy Carter f***** segalanya. Lalu aku menjadi pengagum besar Ronald Reagan. Dan masih mengaguminya," imbuhnya.
Lebih lanjut Bannon menjelaskan bahwa ia juga kecewa dengan pemerintahan George W. Bush yang disebutnya seburuk pemerintahan Carter.
Pada 2004, Bannon membuat film dokumenter tentang kemenangan Reagan, "In the Face of Evil" dan dia mendapat perhatian dari kelompok sayap kanan Amerika. Selanjutnya, ia kerap tampil di Fox News, memproduksi film dokumenter tentang Sarah Palin, dan gerakan Tea Party.
Pria berusia 62 tahun itu kemudian mengambil alih situs berita Breitbart setelah pendirinya Andrew Breitbart meninggal dunia akibat serangan jantung pada Maret 2012. Situs tersebut mampu menarik 21 juta pengunjung setiap bulannya.
Bloomberg mendeskripsikan Breitbart sebagai "surga bagi orang-orang yang berpikir Fox News terlalu sopan dan terkendali." Situs berita itu kerap menyajikan headline kontroversial.
Breitbart pula yang pertama kali mengekspos skandal seks Anthony Weiner, politisi Demokrat yang juga merupakan mantan anggota Kongres AS. Isu itu memengaruhi kampanye Hillary Clinton jelang pilpres AS 2012. Bannon digambarkan senang bermain-main dengan "kontroversi".
Gaya busana Bannon cenderung santai, celana pendek kargo dan sandal jepit. Ia kerap menggunakan kata sapaan "Bung".
Tiga kali menikah, oleh istri keduanya, Mary Louise Piccard, ia dituduh melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tak hanya itu, Bannon juga dituding anti-Semitisme.
"Dia mengatakan, dia tak suka dengan cara kaum Yahudi membesarkan anak-anak mereka menjadi "anak nakal yang cengeng" dan dia tidak ingin anak-anaknya pergi ke sekolah yang sama dengan kaum Yahudi," demikian pernyataan Piccard yang kemudian dibantah oleh Bannon.
Breibart News sangat menunjukkan sikap pro-Trump dan bersemangat menyerang Hillary. Ketua DPR AS, Paul Ryan juga beberapa kali menjadi target serangan Bannon. Sejumlah stafnya mengakui bahwa bos mereka memerintahkan untuk menyerang Ryan tiap kali ada kesempatan.
Dikecam Partai Demokrat
Penunjukkan Bannon sebagai manajer kampanye Trump pada Agustus lalu dirayakan oleh David Duke, mantan pemimpin PKK yang tengah berusaha mendapat kursi senat di Louisiana. PKK atau The Klan adalah sebuah kelompok rasis ekstrem di AS yang berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah yang terbaik.
Bahkan Duke berterima kasih karena Trump telah menempatkan seorang yang rasis di Gedung Putih. Sementara pernyataan berbeda disampaikan mantan bawahan Bannon.
"Kebanyakan mantan pekerja Breitbart News takut dengan Steve Bannon. Dia adalah seorang pendendam, tokoh jahat, dikenal kerap memanfaatkan teman dan mengancam musuh. Bannon adalah Trump versi yang lebih cerdas. Dia seorang promotor diri yang agresif untuk meningkatkan citranya dan mengejar nama besar serta menggunakan nama besarnya itu untuk melangkah ke tujuan berikutnya," jelas mantan editor Breitbart, Ben Shapiro.
Shapiro mengatakan ia mengundurkan diri dari media tersebut karena merasa muak dengan cara situs itu menjilat Trump.
"Trump mungkin menjadi tujuan akhirnya. Atau bisa jadi tidak. Dia akan berusaha menghancurkan siapa saja yang menghalangi ambisi tak berujungnya," tegas Shapiro.
Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang disampaikan Shapiro, namun penunjukan Bannon sebagai kepala strategi sekaligus penasihat senior pemerintahan Trump menandai puncak kariernya yang dimulainya dari kelas pekerja, pemodal, produser, dan raja media sayap kanan Amerika.
Masuknya Bannon dalam jajaran petinggi Gedung Putih mendatangkan reaksi negatif dari kubu Demokrat. Ia dinilai tidak layak mengisi posisi sebagai pejabat senior.
Seperti dilansir Politico.com, Bannon dianggap merupakan sosok kontroversial yang lekat dengan tuduhan rasis, kekerasan dalam rumah tangga, dan anti-Semitisme selama kariernya sebagai aktivis konservatif haris keras.
"Sangat mudah untuk melihat mengapa KKK memandang Trump sebagai juara mereka ketika presiden terpilih AS itu menunjuk Bannon sebagai pembantu utamanya," ujar Adam Jentleson, wakil kepala staf untuk Pemimpin Minoritas Senat, Harry Reid.
Menurut Southern Poverty Law Center, organisasi non-profit yang bersaksi dalam persidangan untuk membela mantan istri Bannon, pria itu adalah "pengemudi utama di balik Breitbart yang menjadi pabrik propaganda etno-nasionalis kulit putih."
Kritik lainnya juga datang dari politisi Partai Demokrat, Adam Schiff. "Terpilihnya Steve Bannon sebagai pejabat senior Gedung Putih tidak mengejutkan, namun mengkhawatirkan. Seseorang yang memiliki pandangan Alt-Right, anti-Semitisme, dan misoginis tidak layak berada di Gedung Putih."
Sementara itu terlepas dari semua kritik terhadap Bannon, Trump justru menilai sosoknya sebagai pemimpin yang berkualitas.