4-12-1949: Simpatisan RI di Balik Pembunuhan Gubernur Sarawak?

Pria Inggris bergelar 'Raja Putih' Sarawak dianggap sebagai dalang. Tapi Pemerintah Inggris menemukan petunjuk terkait Indonesia.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 04 Des 2016, 06:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2016, 06:00 WIB

Liputan6.com, London - Pasca-Perang Dunia II, 4 Desember 1949, setelah dua pekan bertugas, Gubernur Sarawak yang baru, Duncan Stewart melakukan  kunjungan resmi pertamanya ke Kota Sibu -- yang kini jadi bagian dari Malaysia.

Ia disambut hangat kerumunan warga. Setelah menginspeksi pasukan penyambut tamu kehormatan dan bertemu sekelompok anak-anak sekolah, seorang pemuda mendekatinya.

Moshidi bin Sedek, nama pemuda itu, membawa kamera dan meminta izin untuk mengambil foto orang penting itu.

Saat Gubernur Stewart berpose, tiba-tiba pemuda lain, Rosli bin Dobi mendekat dan menusuknya.

Aparat pun segera bertindak meringkus dua pemuda tersebut.

Meski menderita luka tikaman yang dalam, Stewart dilaporkan terus melanjutkan tugasnya, seakan upaya pembunuhan tak pernah terjadi, hingga darah mulai merembes melalui seragam putihnya.

Sang gubernur cepat-cepat dilarikan ke Kuching, lalu meninggal beberapa hari kemudian di rumah sakit di Singapura.

Gubernur Sarawak Duncan Stewart tewas ditikam (BBC)

Dua pelaku, Rosli bin Dobi dan Moshidi bin Sedek diadili dalam kasus pembunuhan dan dieksekusi gantung.

Keduanya diduga anggota kelompok yang mencoba mengembalikan kekuasaan Anthony Brooke, pewaris takhta  Sarawak dari keluarga Inggris yang dijuluki 'Raja Putih' atau White Rajahs.

Gerakan 'anti-penyerahan' tersebut dikenal menentang penyerahan Sarawak ke pihak Inggris.

Keluarga Brooke telah memerintah sepotong wilayah di utara Kalimantan sejak pertengahan Abad ke-19.

Wilayah tersebut diberikan kepada nenek moyang Anthony Brooke, James dari Sultan Brunei, setelah petualang era Victoria itu memadamkan pemberontakan terhadao sang penguasa

Daerah tersebut dikelola secara independen dan murah hati oleh keluarga Brooke. Kepentingan kelompok suku lokal yang bervariasi yang, tampaknya, dilindungi oleh mereka -- menyusul meningkatnya tekanan investor dan pebisnis.

Namun, pada Juli 1946, Sarawak kemudian menjadi koloni terakhir yang diakuisisi Inggris.

Sarawak diserahkan oleh paman Anthony Brooke, Charles Vyner Brooke, yang dipertukarkan dengan uang senilai 200 ribu poundsterling.

Anthony Brooke, yang diharapkan untuk mengambil alih takhta sebagai Raja Putih dari Sarawak, tentu tidak senang dengan kesepakatan itu. Juga para penduduk lokal yang tak sudi diperintah Inggris. Protes pun menyebar dari desa ke desa.

Jadi, ketika seorang gubernur Inggris meninggal tak wajar, kecurigaan mengarah pada Anthony Brooke.

Apakah ia terlibat dalam plot pembunuhan sebagai bagian dari upayanya untuk merebut kembali kekuasaan? Para pejabat

Inggris seakan tak mencari kemungkinan lain -- namun mereka tahu lebih banyak dari yang dikira.

"Bukan itu yang diyakini oleh pemerintah Inggris," kata sejarawan, Simon Ball dari Glasgow University yang meneliti kasus tersebut secara ekstensif, seperti dikutip dari BBC.

Buki-bukti menunjukkan, dalang plot pembunuhan tak bekerja
untuk Anthony Brooke -- juga tak ada bukti mereka ingin mengembalikannya ke tampuk kekuasaan.

Kebenaran yang Ditutupi

Dalam sebuah surat ditemukan oleh Profesor Ball, yang ditulis salah satu konspirator pembunuhan, dijelaskan bahwa tujuannya adalah membantu Indonesia untuk mengambil alih Sarawak.

"Yang mereka inginkan adalah kemerdekaan, sebagai bagian dari Indonesia. (Surat) itu menggarisbawahi motif pembunuhan. Bukan untuk mendukung Anthony Brooke," kata Ball.

Namun, pihak Inggris diduga khawatir, mengkonfrontasi dugaan keterlibatan Indonesia dalam plot mungkin akan memicu konflik yang tak diinginkan.

Apalagi, Indonesia adalah negara merdeka yang baru saja memaksa penjajah Belanda hengkang. Sementara, Inggris telah menangani pemberontalan yang terjadi di wilayah kekuasaannya di Malaya hingga barat laut.

Jadi, mereka memutuskan untuk diam, terkait fakta bahwa aksi penikaman ternyata tak ada kaitannya dengan pendukung Brooke -- dan ada banyak hal yang harus dilakukan terhadap gerakan kemerdekaan anti-kolonial.

Dalam surat yang bertanda 'rahasia' dari John Higham dari Kantor Kolonial (Colonial Office) kepada koleganya di Kementerian Luar Negeri disebutkan, "Kami telah sampai pada kesimpulan bahwa publikasi terkait korespondensi tersebut akan berbahaya."

Inspektur di Special Branch -- unit khusus yang bertanggung jawab atas keamanan nasional dan intelijen di Inggris dan negara-negara Commonwealth -- menulis  surat dua pekan kemudian.

"Tak ada bukti atau kecurihaan bahwa AB (Anthony Brooke) mengetahui niat untuk membunuh Yang Mulia Gubernur."

Meski demikian, tudingan sebagai dalang kematian Duncan Stewart dituduhkan pada Anthony Brooke -- yang tak pernah diberi tahu bahwa pendukungnya tak ada kaitan sama sekali dengan pembunuhan tersebut.

Setahun kemudian, Anthony Brooke secara resmi menyerahkan klaimnya atas takhta Sarawak dan keliling dunia sebagai duta besar mandiri -- sebelum akhirnya menetap di Selandia Baru hingga meninggal dunia pada usia 98 tahun.

Cucunya, Jason Brooke, mengaku sedih, sang kakek berpulang tanpa mengetahui kebenaran.

"Saya pikir itu sangat sulit bagi Anthony, menghadapi hal seperti itu...lebih dari sekedar implikasi, yang lebih bersifat tuduhan belaka, atau setidaknya tanggung jawab moral untuk apa yang terjadi pada Duncan Stewart. Ini menyedihkan, tapi itulah sejarah."

Tak hanya itu yang terjadi pada tanggal 4 Desember.

Pada 1977, pesawat Malaysia Airlines Penerbangan 653 dibajak dan jatuh di Kampong Ladang, Tanjong Kupang. 100 Orang di dalamnya tewas seketika, jasad mereka sulit diidentifikasi.

Termasuk yang kehilangan nyawa adalah Menteri Pertanian Malaysia, Dato' Ali Haji Ahmad, Kepala Departemen Pekerjaan Umum Malaysia, Dato' Mahfuz Khalid, dan Duta Besar Kuba untuk Jepang, Mario Garcia.

Sementara, 4 Desember 1872 dicatat dalam sejarah sebagai momentum munculnya kapal hantu Mary Celeste.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya