Liputan6.com, London - Percayakah kalau kita mendengar penis memiliki tulang? Kenyataannya beberapa mahluk hidup pejantan memang memiliki tulang penis, yang dikenal juga sebagai os penis atau baculum.
Tulang itu tidak biasa, karena terletak di ujung organ kelamin jantan, tapi tidak terhubung dengan struktur kerangka lainnya. Kucing jantan dan anjing jantan memilikinya.
Advertisement
Baca Juga
Demikian juga dengan sejumlah mamalia jantan lain, yaitu simpanse, gorila, weasel, dan beruang. Walrus memiliki tulang penis berukuran luar biasa, bisa mencapai panjang 55 centimeter.
Dikutip dari Washington Post pada Kamis (15/12/2016), tulang tersebut bahkan berukuran lebih besar lagi di masa lalu. Fosil suatu spesies walrus purba memiliki tulang penis sepanjang 1,4 meter. Pada 2007, fosil itu laku dilelang hingga US$ 8 ribu.
Anehnya, manusia tidak memiliki tulang penis. Ada dugaan bahwa suatu ayat Kitab Kejadian sebenarnya mencoba menjelaskan hilangnya tulang tersebut pada manusia sebagai bagian dari penciptaan. Dua orang sarjana Alkitab memperdebatkan bahwa yang diambil dari Adam untuk menciptakan Eva adalah tulang penis, bukan tulang rusuk.
Manusia Kehilangan Tulang Penis
Suatu penelitian yang diterbitkan Rabu lalu dalam Proceedings of the Royal Society B mencoba menjelaskan alasan manusia kehilangan tulang tersebut.
Menurut standar reproduksi primata, manusia tidak perlu berlama-lama melakukan seks sehingga tidak memerlukan tulang penis. Lagipula, dibandingkan dengan kerabat-kerabat primata lainnya, proses pada manusia bisa dibilang tanpa tekanan.
Dua orang peneliti University College London menelaah beberapa karakteristik seksual primate dan mamalia karnivora, termasuk fitur seperti poligami, berat testes, kawin musiman, dan lamanya penis berada di dalam tubuh betina.
Pada primata, penduga terbaik apakah pejantan memiliki tulang penis adalah jika keberadaan penis dalam tubuh betina (intromission) berlangsung setidaknya selama 3 menit.
Ada juga hubungan antara panjang intromission itu dengan panjang tulang penis, baik pada primata maupun pada karnivora.
Dalam Conversation, Matilda Brindle, seorang penulis penelitian, mengatakan bahwa "manusia tidak sampai masuk dalam kategori "intromission berkepanjangan". Durasi rata-rata dari sejak penetrasi hingga ejakulasi pada manusia lelaki hanya kurang dari 2 menit."
Tapi, intromission primata yang berlama-lama bukanlah sesuatu yang romantis. Tujuannya adalah pembiakan, bukan untuk pamer. Lamanya waktu penis berada dalam vagina betina menjadi jaminan bagi mamalia jantan bahwa betinanya tidak kawin "dengan yang lain sebelum sperma si pejantan berkesempatan membuahi."
Pada 2012, Lauren Reid, seorang ahli antropologi Durham University, menyebutkan bahwa tulang penis ada karena beberapa alasan. Tulang itu memberikan kecepatan, karena ereksi tidak perlu menunggu hingga darah mengalir memenuhi penis.
Tulang itu juga "membantu pejantan untuk menjaga ereksi cukup lama sehingga cukup waktunya penetrasi ke dalam saluran reproduksi betina dan menghantarkan sperma."
Tapi ada pandangan lain. National Geographic melaporkan bahwa, pada 2013, para peneliti Australia menengarai bahwa baculum pada tikus dapat "merangsang saluran reproduksi betina" sehingga meningkatkan kemungkinan pembuahan sel telur.
Advertisement
Datang dan Pergi, Silih Berganti
Tulang penis hadir dan raib dalam sejarah evolusioner mamalia. Matthew Dean, ahli biologi University of Southern California, menjelaskan kepada Washington Post pada Juni lalu, "Kalau ditanyakan kepada seorang ahli mamalia, mereka melihat ke langit, berpikir sejenak, dan menjawab bahwa hal itu terjadi beberapa kali."
Para penulis penelitian teranyar dalam ulasan ini melacak kemunculan tulang penis pertama kalinya antara 145 hingga 95 juta tahun yang lalu.
Penjelasan menggunakan intromission selama lebih dari 3 menit tidak terlalu berlaku untuk monyet besar semisal simpanse yang bersenggama hanya dalam beberapa detik saja. Tulang penis simpanse juga tidak besar, bisa sekecil 6 milimeter.
Karena itu, kompetisi diduga menjadi faktor pendorongnya, demikian menurut temuan para peneliti University College London. Simpanse kawin dalam kondisi tekanan tinggi karena simpanse bersifat poligami dan kompetisi di antara pejantan ketat sekali.
Menurut para ilmuwan, sebagai mahluk monogami yang mampu kawin setiap saat sepanjang tahun, manusia purba tidak lagi memerlukan tulang tersebut.
Kit Opie, seorang ahli antropologi di University College London yang sekaligus penulis penelitian, mengatakan melalui terbitan pers, "Setelah leluhur manusia terpisah dari simpanse dan bonobo, dan sistem kawin kita mengarah ke monogami pada sekitar 2 juta tahun lalu, sehingga tekanan evolusioner untuk terus memiliki baculum diduga menyusut."
"Hal ini mungkin menjadi pamungkas terhadap baculum yang memang sudah menyusut, sehingga kemudian lenyap seluruhnya pada manusia purba."