Liputan6.com, Jakarta - Dalam rapat dengan Komisi I DPR RI, 9 Febuari 2016 lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan terkait perundingan batas darat Indonesia-Timor Leste di Noel Besi-Citrana dan Bijael Sunan-Oben.
Dia mengatakan, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan di dua wilayah itu sama sekali tidak mudah. Bahkan tergolong cukup pelik.
Setahun kemudian, titik terang mulai terlihat. Direktur Jenderal Asia, Pasifik Afrika Kementerian Luar Negeri Desra Percaya pada Sabtu 11 Maret 2017 bertolak ke Dili untuk membahas masalah perbatasan dengan Wakil Menteri Luar Negeri Timor Leste.
Hasilnya dianggap memuaskan. Dari pertemuan itu disepakati sekira pada Mei 2017 mendatang, permasalahan ini diharapkan bisa selesai. Sehingga sudah tidak ada lagi saling klaim perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.
Baca Juga
Menurut Desra sebenarnya ada pangkal masalah kenapa persoalan ini sulit diselesaikan. Hal tersebut disebabkan perbedaan pemakaian landasan hukum dalam menentukan wilayah.
"Karena ada perbedaan persepsi antara Indonesia dan Timor Leste mengenai garis awal penarikan batasnya dari mana," sebut Desra di Jakarta, Senin, (13/3/2017).
"Kalau Timor Leste menggunakan Uti Possidetis Juris berdasarkan Treaty 1904 kita berdasarkan sungai dengan garis paling dalam sungai sesuai prinsip hukum internasional," tambah dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, masalah horizontal pun menambah dinamika perundingan batas Indonesia dan Timor Leste. Tetapi, ia yakin persoalan itu ada jalan keluarnya.
"Di Bijael Sunan-Oben itu bukan konflik lebih pada peninggalan sejarah di mana komunitas itu yang ada di Indonesia punya historical, ada kegiatan yang dilakukan di wilayah di Timor Leste," ucap dia.
"Kita mengatur special arrangement tanpa menghilangkan hak mereka dalam culture faith land atau melakukan aktivitas berkaitan dengan makam," pungkasnya.
Advertisement