Marah hingga Ingin Bunuh Diri, Curhat Orang Tua Pembunuh Massal

Ketika pembunuhan massal terjadi, banyak orang termasuk media berspekulasi orang tua adalah penyebab pelaku melakukan hal itu.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 27 Mar 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2017, 07:48 WIB
Marah hingga Ingin Bunuh Diri, Curhat Orangtua Pembunuh Massal
Marah hingga Ingin Bunuh Diri, Curhat Orangtua Pembunuh Massal (AP, AFP)

Liputan6.com, London - Dalam peringatan dua tahun kecelakaan maut Germanwings, ayah dari pelaku sekaligus kopilot Andreas Lubitz, marah kepada keluarga korban. Ia menolak tuduhan bahwa anak lelakinya sengaja menabrakkan burung besi itu ke pegunungan.

Guenter Lubitz menggelar konferensi pers yang mengatakan anaknya tak bersalah. Padahal keputusan jaksa Jerman pada Januari lalu menyimpulkan Andreas sengaja menabrakkan pesawat itu dalam upayanya bunuh diri.

Orangtua Andreas telah membuat keluarga korban marah pada peringatan satu tahun jatuhnya pesawat itu. Saat itu, mereka membuat ucapan duka cita kehilangan disandingkan dengan foto Andreas sedang tersenyum tanpa menyebut satupun 149 korban.

Itu mungkin cara orangtua pelaku pembunuhan massal berdamai diri dengan kejahatan yang anak mereka lakukan. Meski tak jarang justru membuat keluarga korban marah.

Lantas bagaimana cara orang tua pelaku pembunuhan massal berdamai dengan diri sendiri, berikut kisah mereka seperti dikutip dari BBC, Minggu (26/3/2017).

Ketika pembunuhan massal terjadi, media berspekulasi penyebab yang membuat pelaku melakukan itu.

"Ada kecenderungan untuk menyalahkan orangtua," kata Andrew Solomon, seorang profesor psikologi klinis di Columbia University yang menulis buku tentang hal ini

"Temuan saya, orangtua (pelaku pembunuh massal) kebanyakan adalah orang baik-baik yang kaget dengan apa yang terjadi," lanjutnya.

"Ini adalah trauma luar biasa dan kehilangan yang dalam bagi orangtua (pelaku), tak hanya kehilangan anak mereka, tapi juga citra tentang anak mereka," kata Solomon

"Mereka tak bisa melihat anak yang dahulu mereka miliki," tambahnya.

Prof Solomon menunjukkan perlakuan tak adil bagi ibu Adam Lanza. Adam membunuh 20 anak dan enam staf di sekolah dasar Sandy Hool di Connecticut pada 2012. Adam juga menembak mati ibunya Nancy sebelum melakukan penyerangan.

Karena hal itu, nama Nancy Lanza tidak disebut oleh Presiden Barack Obama kala memperingati peristiwa itu dan ia dicoret dari daftar resmi korban.

Bagi banyak orang, Nancy yang juga penggila senjata, dianggap mengakomodasi anaknya dengan tidak memberi pengobatan atas gangguan kejiwaaan.

Tentu itu membuat pro dan kontra menyalahkan semata kepada orangtua pelaku pembunuhan massal. Hal itu membuat seorang ibu merilis blog berjudul 'I am Adam Lanza's Mother' tentang bagaimana insiden dan bagaimana sulitnya seorang ibu mencari bantuan bagi anaknya yang mengalami sakit jiwa.

Peter Lanza, ayah dari Adam kepada Prof Solomon mengatakan, Adam tak terbuka bagi terapi.

Ia percaya anaknya didiagnosis autisme yang kerap kali sulit dibedakan dengan schizophrenia, dan bersikeras, "Dokter jiwa yang memeriksanya tidak melihat apa yang terjadi di masa depan terkait perilakinya."

"Aku jadi sangat defensif dengan namaku sendiri. Bahkan tak ingin menyebutnya. Aku berpikir untuk menggantinya...," kata Peter.

Ingin Bunuh Diri

Jens Breivik ayah dari Andres Breivik pembunuh 77 orang di Norwegia pada 2011 mengakui bahwa, "di minggu-minggu pertama, aku berpikir untuk bunuh diri."

Jens mengatakan ia menghapus segala hal yang berbau anaknya dan keluar dari pekerjaan. Ia juga berpikir tak bisa kembali ke kampung halamannya karena persepsi ia adalah penyebab anaknya melakukan hal itu.

Hal yang sama dirasakan oleh pembunuh 86 orang di Bastille Day di Nice, Prancis. Sang ayah mengatakan keluarganya turut mencari dukungan ahli jiwa untuk anak mereka.

Tapi bagi banyak orangtua, tanda-tanda awal anaknya bakal jadi pembunuh massal tak terdeteksi.

Sue Klebold, ibu dari salah satu pelaku penyerang SMA Columbine mengungkapkan bagaimana hidupnya setelah kelakuan anaknya yang mengerikan.

Pada 1999, AS dikejutkan dengan penembakan massal di SMA Columbine, di Colorado. Setidaknya 12 siswa tewas dan satu guru meninggal dunia. Ini adalah serangan profil tinggi yang melibatkan sejumlah peralatan ledakan.

Di perbicangan Ted Talk, Sue mengatakan, "Butuh tahunan untuk menerima tindakan yang diperbuat anakku."

"Kekerasan yang ia lakukan sebelum akhirnya ia tewas memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang berbeda dari yang aku kenal."

Pelaku Eric Harris dan Dylan Klebold keduanya bunuh diri setelah melakukan serangan.

Profesor Solomon mengatakan, Sue curhat kepada dirinya bahwa dia dan suaminya terus menerus percaya anak mereka mendapat pengaruh buruk yang tak sesuai dengan nuraninya.

Saat itu, banyak yang berkomentar perilaku remaja itu terpengaruhi dengan mengganti nilai-nilai keluarga dengan idola mereka, Marilyn Manson.

Orangtua Dylan Klebold baru mengetahui, setelah enam bulan insiden Columbine bahwa selama dua tahun anaknya punya perasaan ingin bunuh diri.

"Orang bertanya, bagaimana kamu tak mengetahuinya? Ibu macam apa kamu?," kata Sue yang juga menanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri.

Ia juga mengatakan bagian dari proses penyembuhan dirinya adalah dengan bertanya, bagaimana keinginan bunuh diri anaknya berkembang dengan melakukan aksi pembunuhan massal.

Para ahli jiwa mengatakan, rasionalitas pelaku bunuh diri, termasuk yang melibatkan banyak nyawa kebanyakan tak dapat dijelaskan.

Sue mengatakan, ia prihatin dengan penderita sakit jiwa yang parah, "kebanyakan mereka dianggap mencari perhatian padahal itulah saat yang paling kritis."

"Kita tak bisa tahu atau mengontrol orang-orang yang kita cintai," kata Sue.

"Kita hanya perlu belajar memaafkan diri kita sendiri karena tidak tahu atau menanyakan pertanyaan yang tepat...," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya