Pertemuan Indonesia, Filipina, dan Malaysia Akan Bahas Isu Marawi

Indonesia, Filipina, dan Malaysia akan mengadakan pertemuan trilateral di Manila, pada 22 Juni 2017. Bahas isu Marawi dan terorisme.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Jun 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2017, 07:48 WIB
20170530-Kemenlu Pantau WNI di Marawi City Filipina-Fanani
Menlu RI, Retno Marsudi menunjuk peta sambil menjelaskan perkembangan WNI yang terjebak operasi militer Marawi, Filipina di Jakarta, Selasa (30/5) (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia, Filipina, dan Malaysia akan mengadakan pertemuan trilateral yang bertempat di Manila, pada 22 Juni 2017. Agenda utama pertemuan itu akan membahas isu keamanan dan terorisme di kawasan tiga negara.

Kabar itu disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (20/6/2017).

Agenda itu merupakan edisi kedua pertemuan trilateral antara ketiga negara. Jilid pertama sempat dilaksanakan di Yogyakarta pada 5 Mei 2016. Agenda utama pada pertemuan lalu membahas isu keamanan maritim di kawasan tiga negara.

Kini, isu yang diangkat pada pertemuan trilateral tersebut adalah mengenai isu keamanan dan terorisme. Urgensi diangkatnya isu itu terkait situasi pertempuran di Marawi, Provinsi Lanao del Sur, Mindanao, Filipina selatan.

"Pertemuan itu akan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Panglima Angkatan Bersenjata, Kepala Kepolisian, badan penanggulangan atau kontra terorisme, dan badan intelijen dari masing-masing negara. Mereka akan membahas tentang perkembangan situasi di Filipina selatan, Marawi salah satunya, dan dampaknya terhadap kawasan tiga negara," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir.

Poin pembahasan dalam pertemuan tersebut difokuskan pada tiga aspek. Pertama adalah pertukaran informasi tentang kondisi terkini, tantangan, hambatan, dan potensi kerjasama terkait situasi di Marawi.

Aspek kedua, ketiga negara akan menyampaikan masalah terorisme yang tumbuh di kawasannya menggunakan perspektif kewilayahan masing-masing.

"Khususnya terkait dengan keterlibatan warga dari tiga negara yang terlibat menjadi foreign fighters di Marawi dan kawasan lain. Seperti yang kita tahu sempat ada laporan terkait WN Indonesia dan Malaysia yang turut bertempur di sana. Kita juga akan coba memperbaharui informasi tersebut," ucap Arrmanatha.

Ketiga, pertemuan trilateral itu akan membahas prospek jangka panjang kooperasi tiga negara untuk melakukan pencegahan tumbuhnya terorisme, radikalisme, dan ekstremisme di kawasan masing-masing. Khususnya dalam konteks kontrol perbatasan, pertukaran intelijen, dan kooperasi penegakan hukum.

"Bahwa kini penanganan untuk isu terorisme bukan hanya pada pemberantasannya saja atau berfokus pada law enforcement approach, namun juga pada aspek pencegahannya. Kita juga menekankan pada aspek soft power approach, yakni dengan penguatan kapasitas sosial masyarakat serta pemberdayaan ekonomi," tambah Arrmanatha.

Pertemuan trilateral di Manila pada 22 Juni 2017 nanti masih merupakan taraf diskusi antara perwakilan masing-masing negara, khususnya untuk penyelarasan pandangan terkait isu keamanan dan terorisme di kawasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Adapun kebijakan konkret untuk isu keamanan dan terorisme di tahun-tahun ke depan, baru dapat dirancang setelah pertemuan trilateral di Manila nanti, menggunakan hasil pembahasan dari masing-masing perwakilan negara.

"Mekanismenya sama seperti pertemuan trilateral di Yogyakarta Mei 2016 lalu. Isunya dibahas terlebih dahulu oleh masing-masing negara, barulah dibuat kebijakan konkretnya, berupa prosedur operasi standar misalnya. Pertemuan di Manila nanti sama," kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, melengkapi pernyataan Arrmanatha.

"Namun prediksinya, kebijakan konkret untuk isu terorisme dapat dibentuk lebih cepat ketimbang kebijakan konkret isu keamanan maritim tahun lalu. Dulu kita mulai dari nol. Tapi sekarang, pasca-trilateral di Yogyakarta, kita sudah punya landasannya," tambah Iqbal.

Pihak Kemlu menyampaikan bahwa pertemuan trilateral nanti mampu menghasilkan hasil luaran yang beragam. Mulai dari kebijakan yang bersifat pencegahan dengan pendekatan pemberdayaan hingga keterlibatan otoritas penegakan hukum maupun angkatan bersenjata masing-masing negara untuk membantu isu terorisme di tiga kawasan.

"Namun lagi, kebijakan itu harus memperhatikan konstitusi. Kita sangat menekankan agar kebijakan yang diproduksi dari pertemuan trilateral nanti tetap menghargai konstitusi dari masing-masing negara," jelas Arrmanatha.

 

Berlandas Pada Pertemuan Yogyakarta Mei 2016

Indonesia menjadi inisiator pertemuan trilateral (tiga negara) antara Indonesia, Malaysia dan Filipina di Gedung Agung Yogyakarta pada 5 Mei 2016 lalu. Pertemuan itu melahirkan Joint Declaration dengan empat poin kesepakatan.

Kesepakatan pertama adalah dengan adanya Joint Coordinated Patrol antara tiga negara. Namun masih dibahas secara detail oleh masing-masing panglima tentara dalam waktu dekat. Kedua, masing-masing negara akan memberikan bantuan segera jika ada seseorang atau kapal yang mengalami distressed atau membutuhkan bantuan.

Ketiga, tiga negara bersepakat membuat National Vocal Point untuk melakukan sharing informasi secara cepat. Terakhir, membuat hotline untuk mempercepat koordinasi dalam merespons kondisi darurat.

"National Vocal Point untuk fasilitasi sharing informasi dalam waktu singkat, dalam menanggapi situasi emergency dan sepakat membuat hotline communication," ujar Menlu Retno usai pertemuan di Gedung Agung Yogyakarta, Kamis 5 Mei 2016.

Retno mengatakan pertemuan ini dilakukan karena wilayah perairan di antara tiga negara itu, memegang satu posisi strategis dan penting bagi ekonomi ketiga negara. Namun menurut Retno, wilayah itu memiliki beberapa tantangan, di antaranya aksi perompakan bersenjata, kejahatan transnasional, terorisme di kawasan tersebut.

Tantangan itu coba dihadapi dengan pertemuan tiga negara.

Retno mengatakan, jika wilayah itu memiliki posisi strategis dan penting. Walaupun wilayah itu mendatangkan tantangan yang ada. Menurut Retno pertemuan itu berjalan konstruktif dan terbuka, sehingga siap menghadapi tantangan tersebut.

"Jadi Indonesia menjadi inisiatif untuk tuan rumah untuk menjawab tantangan tersebut. Jika tidak mampu hadapi tantangan kita akan terganggu. Apalagi yang tinggal didaerah tersebut. Dan yang melakukan perekonomian tersebut," pungkas Menlu Retno.

Pada 2017, tiga negara juga sudah meluncurkan Maritime Command Centre, sebagai pusat komando keamanan maritim di kawasan perairan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

 

Saksikan juga video berikut ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya