Liputan6.com, Beijing - Intelektual, aktivis HAM, dan peraih Nobel Perdamaian asal China, Liu Xiaobo dilaporkan meninggal dunia di Shenyang pada Kamis 13 Juli 2017 kemarin. Ia mengembuskan napas terakhir pada usia 61 tahun.
Liu menderita kanker hati dan pria itu dikabarkan meninggal akibat kegagalan berbagai fungsi organ.
Pada Juni lalu, Liu diberi pembebasan bersyarat setelah ia didiagnosis menderita kanker hati di penjara. Kendati demikian, Beijing menolak mengizinkannya berobat di luar negeri meski muncul tekanan dari masyarakat internasional.
Advertisement
Pada akhirnya, otoritas Tiongkok hanya mengizinkan sejumlah dokter dari Jerman dan Amerika Serikat datang merawatnya. Demikian seperti dilansir CNN pada Jumat (14/7/2017).
Dalam sebuah pernyataan menanggapi kematian Liu, Gedung Putih sendiri menyebut pria itu sebagai "tahanan politik".
Pernyataan tersebut mengungkapkan ucapan belasungkawa mendalam dari Presiden Donald Trump kepada Liu Xia, istri dari mendiang Liu serta keluarga dan teman-teman sang aktivis. Sepanjang hidupnya, Liu konsisten mengampanyekan demokrasi dan kebebasan.
Pria kelahiran Changchun 28 Desember 1955 tersebut menghabiskan lebih dari satu dekade di balik jeruji besi di China. Penahanan Liu terkait dengan advokasi demokrasi yang dilakukannya termasuk saat ia ambil bagian dalam demonstrasi di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Hukuman penjara terakhirnya dijatuhkan pada Desember 2009 setelah ia menggagas Charter 08, sebuah manifesto politik yang mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Ceko. Sebagian isi Charter 08 berisi upaya untuk menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga demi mendapat informasi dan pengawasan politik.
Otoritas peradilan di Shenyang, tempat Liu dirawat mengatakan, ia mendapat perawatan khusus sejak Senin lalu setelah kondisinya terus memburuk.
Melalui sebuah pernyataan resmi perdana pemerintah, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan, pihak berwenang "melakukan berbagai upaya untuk memperlakukannya secara manusiawi dan sesuai dengan hukum" setelah Liu didiagnosi menderita kanker hati.
Lebih lanjut Shuang menjelaskan, Liu dijatuhi vonis karena melanggar hukum China. Mengkritik penanganan sebuah kasus di China merupakan gangguan "tidak patut" terhadap urusan dalam negeri negara tersebut.
Â
Simak video menarik berikut:
Komite Nobel Mengkritik China
Berit Reiss-Andersen, Ketua Komite Nobel Norwegia mengatakan, pemerintah China "menanggung tanggung jawab berat atas kematian Liu...". Ia juga menuding, dunia mengabaikan kasus yang menjerat Liu.
"Ini adalah fakta yang menyedihkan dan mengganggu bahwa perwakilan dunia bebas, yang memiliki penghormatan tinggi terhadap demokrasi dan HAM kurang bersedia membela hak-hak tersebut demi keuntungan orang lain," ungkap Reiss-Andersen.
"Liu Xiaobo adalah perwakilan gagasan yang beresonansi dengan jutaan orang di seluruh dunia, bahkan di China. Ide-idenya tidak dapat dipenjara dan tak akan pernah mati," tambahnya.
Liu sendiri absen dalam upacara penyerahan Nobel tahun 2010. Hanya fotonya yang diletakkan di sebuah kursi.
"Sekarang kami harus menyesuaikan diri dengan fakta bahwa kursi itu selamanya akan tetap kosong," kata kata Reiss-Andersen.
Dilanjutkan Reiss-Andersen, "Pada saat yang sama, keyakinan kami, Liu Xiaobo akan tetap menjadi simbol kekuatan bagi semua yang memperjuangkan kebebasan, demokrasi, dan sebuah dunia yang lebih baik lagi".
Advertisement
Duka Dunia bagi Liu Xiaobao
Ai Weiwei, seorang pembangkang China yang juga seniman terkenal di negara itu berkicau di media sosial Twitter, "Liu Xiaobo telah pergi -- beristirahatlah dengan tenang. Kami di sini dengan Xiaobo".
Aktivis Chen Guangcheng yang juga penulis buku "The Barefoot Lawyer: A Blind Man's Fight for Justice and Freedom in China" turut menuliskan pesan di media sosial Twitter. "Dengan menyiksa dan membunuh Liu Xiaobo, otoritas komunis China telah memblokir semua kemajuan".
Adapun seorang pengacara HAM China yang melarikan diri dari negara itu pada tahun 2014 melalui Twitter menyampaikan, "(Liu Xiaobao) telah meninggal. Cintanya, keberaniannya, dan kekuatannya tidak akan pernah mati".
Dalam sebuah pernyataan, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan, "gerakan HAM di China dan di seluruh dunia telah kehilangan seorang jagoan berprinsip yang mengabdikan hidupnya untuk membela dan mempromosikan HAM, perdamaian dan konsistensi, dan dia dipenjara karena menjaga keyakinannya".
Al Hussein pun mendesak pihak berwenang China untuk mengizinkan Liu Xia istri Liu untuk melihat jasad sang suami terakhir kalinya.
"Liu Xiaobao adalah perwujudan sejati cita-cita demokrasi...Meskipun dipenjara dan dipisahkan dari istri yang dipuja-pujanya dan hal itu dapat memicu kemarahan dan kepahitan, namun Liu Xiaobao menyatakan tidak membenci mereka yang memburu dan mengadilinya," ujar Al Hussein.
Menanggapi kematian Liu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menulis pesan di laman Facebooknya. Ia mendesak China untuk membantu mewujudkan cita-cita Liu dengan mengimplementasikan reformasi politik dan memungkinkan warga untuk mendapat kebebasan berdemokrasi.
Tsai Ing-wen pun menegaskan, "Liu tidak memiliki musuh, karena demokrasi tidak memiliki musuh".
Melalui sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan, Liu "mengabdikan hidupnya demi kemajuan negaranya dan umat manusia, dan demi meraih keadilan serta kebebasan". Tillerson mendesak pihak berwenang China untuk membebaskan istri Liu dari tahanan rumah dan mengizinkannya bepergian ke luar China.
Kematian Liu pun memicu kecaman dari Human Rights Watch. Direktur Human Rights Watch China Sophie Richardson mengatakan, "Kesombongan, kekejaman, dan ketidakpedulian pemerintah China sangat mengejutkan -- namun perjuangan Liu untuk penghormatan terhadap hak-hak, demokrasi China kan berlanjut".
Salil Shetty, sekretaris jenderal Amnesty International, mengenang Liu sebagai "orang intelek, berprinsip, humoris dan di atas rata-rata manusia."
"Meskipun mengalami masa penganiayaan, penindasan, dan pemenjaraan selama bertahun-tahun, Liu Xiaobo terus memperjuangkan keyakinannya," kata Shetty.
Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas berkicau di Twitter, "Liu Xiaobo sudah mati. Perlawanan tanpa kekerasan membuatnya menjadi pahlawan dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia".