UNHCR Puji Perpres Baru RI Soal Penanganan Pengungsi

Regulasi baru tersebut diharapkan mampu menjadi payung hukum untuk polemik pengungsi asing, mulai dari Rohingya hingga Afghanistan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Jul 2017, 08:15 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2017, 08:15 WIB
Pengungsi Rohingya
Pengungsi Rohingya berjalan di samping gubuk di sebuah kamp darurat di distrik Cox's Bazar di Bangladesh pada tanggal 30 Mei 2017 setelah Topan Mora mendarat di wilayah tersebut. (AFP Photo/Str)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan salah satu negara transit bagi para pengungsi dan pencari suaka asing. RI pun hingga kini tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967.

Keputusan untuk tidak meratifikasi konvensi kerap membuat komunitas internasional mendesak RI untuk segera menandatangani konvensi dan protokol itu. Alasannya, agar Tanah Air mampu berkiblat pada dua regulasi itu dalam menangani fenomena pengungsi dan pencari suaka.

Namun di satu sisi, meski tidak meratifikasi konvensi dan protokol tersebut, Indonesia diakui sebagai salah satu negara yang menaruh perhatian besar pada fenomena pengungsi dan pencari suaka. Penanganan yang dilakukan oleh Tanah Air pun selaras dengan gagasan yang tercantum dalam Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967.

Meski begitu, pada praktiknya, otoritas di Tanah Air mengalami kegamangan dalam melakukan penanganan terhadap refugee dan asylum seekers. Kegalauan tersebut timbul akibat keterbatasan regulasi maupun landasan perundang-undangan.

Demi menghadapi isu tersebut, Indonesia kini telah menetapkan Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan tersebut secara spesifik ditujukan sebagai landasan hukum bagi otoritas Tanah Air dalam menangani pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri.

"Krisis pengungsi global perlu dicermati dengan seksama. Dan oleh karena itu, Perpres No 125 Tahun 2016 ditujukan untuk menangani pengungsi yang datang ke Indonesia. Penanganannya akan dilakukan sejak ditemukan, dan setelah itu mereka akan ditampung, diamankan, serta diawasi oleh koordinasi berbagai lembaga domestik dan internasional seperti UNNHCR," jelas Direktur Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Ronny Sompie dalam konferensi pers sosialisasi Perpres No. 125 Tahun 2016 di Jakarta, (24/7/2017).

Menambahkan pernyataan Ronny, Kabid Penanganan Kejahatan Transnasional Kemenko-Polhukam, Puja Laksana, berharap agar para otoritas mampu mendapatkan landasan hukum terkait penanganan refugee dan asylum seekers, termasuk mereka yang berstatus kelompok rentan, seperti anak-anak.

"Pada praktiknya di lapangan, otoritas kita mengalami kegamangan untuk melakukan penanganan. Harapannya, setelah ada Perpres No. 125 Tahun 2016, petugas di lapangan dari berbagai unsur dapat memiliki payung hukum untuk menangani mereka, khususnya terkait penampungan, pengawasan, serta urgensi untuk menyelamatkan pengungsi yang membutuhkan bantuan," ujar Puja Laksana.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Representasi UNHCR untuk Indonesia Thomas Vargas sangat mengapresiasi langkah pemerintah Tanah Air terkait pembentukan dan implementasi Perpres No. 125 Tahun 2016. Vargas mengklaim bahwa regulasi tersebut selaras dengan gagasan yang tercanang dalam Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi PBB 1967.

"Fakta bahwa Indonesia telah mengadopsi hukum itu menunjukkan bahwa, tak perlu meratifikasi Konvensi dan Protokol untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan penari suaka. Selama ini, Indonesia telah berkomitmen untuk menyediakan penampungan aman bagi para pengungsi tanpa harus mengadopsi konvensi dan protokol internasional tersebut.

"Tetap saja, UNHCR akan sangat senang jika Indonesia meratifikasi keduanya, sebagai sebuah konfirmasi dan penegasan kepada komunitas internasional mengenai perlindungan pengungsi," jelas Thomas Vargas.

Selain itu, Thomas Vargas juga menjelaskan bahwa UNHCR sangat senang bahwa Perpres No. 125 Tahun 2016 menegaskan dan merefleksikan kembali landasan yang diusung Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi 1967.

"Kami sangat senang Perpres itu juga mengatur ketentuan tentang penyelamatan pengungsi yang membutuhkan bantuan, sesuai semangat Konvensi 1951. Sekarang tantangan bagi pemerintah Indonesia adalah menjamin regulasi itu terimplementasi dengan baik," tambah Vargas.

Representasi UNHCR itu juga menambahkan, isu re-settlement --yang kerap mencuat-- bukanlah agenda utama dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi 1967. Pernyataan itu diungkap olehnya terkait tudingan yang muncul terhadap Indonesia, yang dianggap sebagai salah satu negara yang sulit untuk memberikan re-settelement terhadap para refugee dan asylum seekers.

"Fakta dari data kami menunjukkan bahwa hanya 1 persen dari total refugee dan asylum seekers yang melakukan re-settlement. Di satu sisi, penawaran negara untuk menyediakan kawasannya sebagai area re-settlement juga mengalami penyusutan. Namun kita tegaskan bahwa, re-settlement bukan isu utama. Prioritasnya adalah, bagaimana mereka suatu saat dapat kembali ke negara asalnya, untuk membantu memecahkan permasalahan dan mencari solusi atas problem yang dihadapi di tanah air masing-masing," tambah Vargas.

Perpres No. 125 Tahun 2016 yang merupakan produk hukum baru itu telah ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada Januari 2017. Namun, meski sudah diteken, perlu waktu sekitar 6 hingga 12 bulan agar regulasi tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan pada tataran pemerintah serta otoritas penegak hukum di daerah.

"Kita saat ini baru sosialisasi di 7 provinsi. Target kita secepat mungkin mampu mencapai 14 provinsi, khususnya kawasan yang memiliki frekuensi tinggi menjadi entry dan exfil point bagi para pengungsi dan pencari suaka. Tanggal 8 dan 10 Agustus nanti kita akan ke Tanjung Pinang dan Pontianak, dua kawasan yang termasuk kategori frekuensi tinggi," ujar Kabid Penanganan Kejahatan Transnasional Kemenko-Polhukam Puja Laksana.

"Harapannya, pada 2018, Pemda dan otoritas setempat mampu mengimplementasikan Perpres itu," kata Masykur, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri melengkapi.

Menurut data terbaru dari Kemenkumham dan UNHCR, terdapat sekitar 14.300 hingga 14.450 orang yang berstatus sebagai pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Sekitar 25 persen atau 465 orang berstatus sebagai anak-anak.

Saat ini, sekitar 4.000 orang berada di lembaga detensi atau fasilitas penampungan keimigrasian yang tersebar di Riau hingga Jayapura. Sementara itu, 4.400 orang berada di rumah komunitas yang dikelola organisasi non-profit swadaya (ornop atau LSM) dan sekitar 6.000 sisanya hidup mandiri di luar rumah penampungan negara atau ornop.

Berdasarkan kebangsaan, sekitar 7.154 berasal dari Afghanistan, 1.446 dari Somalia, 954 orang dari Myanmar, 946 orang dari Irak, 752 orang dari Nigeria, 543 dari Sri Lanka, dan 2.640 dari negara lain. Selain itu, terjadi peningkatan kuantitas pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia, yang pada 2010 berkisar 2.882 orang, menjadi 14.450 orang pada 2017.

Saksikan juga video berikut ini

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya