Liputan6.com, Jakarta - Ketika mendengar kata China, sebagian besar kalangan membayangkan sebuah negara yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan produksi dunia. Media ekonomi Inggris, The Economist menyebut, banyak di antara perusahaan asal Tiongkok merupakan pemanufaktur separuh barang dunia.
Sementara itu, menurut Business Insider, China modern merupakan penguasa pasar ekonomi dunia kedua terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat.
Advertisement
Baca Juga
Berkembang pesatnya perekonomian Negeri Tirai Bambu turut memicu tumbuhnya gaya dan pola hidup masyarakat kapitalis. Seperti, pengakuan atas hak properti, keuntungan individual, serta sistem pasar bebas.
Akan tetapi, di balik itu semua, Tiongkok di masa kini yang identik dengan sistem kapitalis --meski Beijing mengaku sebagai sosialis-- sempat mengalami sistem komunisme yang tumbuh berkembang pada masa kepemimpinan Mao Zedong sejak Revolusi Kultural terjadi.
Revolusi kultural merupakan gerakan sosio-politik-budaya-ekonomi yang terjadi di Tiongkok dari 1966 sampai 1976. Dicanangkan oleh Mao Zedong, tujuan gerakan itu adalah menyajikan ideologi komunis ala Mao di China dengan menyapu habis seluruh unsur kapitalis dan tradisional dari masyarakat Tiongkok, serta mencanangkan pemikiran 'Maois' sebagai ideologi juga cara hidup dominan.
Demi tujuan itu, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat diatur sesuai dengan haluan besar Maoisme dan Partai Komunis China. Sistem itu juga mendiktat agar setiap warga negara melakukan segala tindakan yang bertujuan untuk memenuhi agenda politik dan kepentingan sang pemimpin tertinggi, Mao Zedong. Termasuk di antaranya seni dan artistik.
Salah satu seniman yang tumbuh pada masa Mao-komunisme menceritakan pengalaman hidupnya. Ia adalah Li Cunxin, maestro balet yang saat ini menjabat sebagai Direktur Artistik Queensland Ballet Australia.
Kepada Liputan6.com, sang premier danseur noble bertutur mengenai seni balet, China, dan Mao-komunisme, serta pergulatan hidupnya terkait ketiga aspek itu.
Berikut ini video wawancara khusus dengan Li, yang juga penulis buku otobiografi berjudul Mao’s Last Dancer -- yang telah diadaptasi ke layar lebar dengan judul serupa: