Liputan6.com, Baghdad - Pemimpin Kurdi sekaligus mantan Presiden Irak, Jalal Talabani, meninggal dunia. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada usia 83 tahun.
Informasi itu disampaikan melalui televisi pemerintah Irak.
Baca Juga
Seperti dikutip dari BBC, Rabu (4/10/2017), kematian Talabani diumumkan pada Selasa 3 Oktober waktu setempat, di tengah keretakan besar antara daerah otonomi Kurdistan dan pemerintah pusat di Baghdad.
Advertisement
Perdana Menteri Irak saat ini, Haider al-Abadi kemudian menuntut agar pemerintah Kurdi membatalkan referendum kemerdekaan yang diadakan delapan hari lalu dan melarang penerbangan internasional ke wilayah tersebut.
Pemerintah Daerah Kurdistan menegaskan pemungutan suara, di mana lebih dari 90% orang yang mendukung pemisahan diri dari Irak, sah dan menggugat PM Abadi "hukuman kolektif".
Talabani adalah veteran perjuangan Kurdi untuk sebuah negara merdeka dan mendirikan Serikat Patriotik Kurdistan (PUK) pada tahun 1975.
Pada tahun 2005, dua tahun setelah invasi pimpinan AS yang menggulingkan Saddam Hussein, dia menjadi presiden non-Arab pertama di Irak. Dia mengundurkan diri pada 2014, dua tahun setelah menderita stroke yang membuatnya menjalani perawatan medis di Jerman.
Meskipun jabatan presiden sebagian besar bersifat seremonial, dia berperan membantu menengahi perselisihan di antara banyak faksi politik dan agama di negara tersebut.
Referendum Bersejarah
Pada 25 September 2017, masyarakat Kurdistan Irak tengah melaksanakan referendum bersejarah. Dengan format pemilihan umum, para warga berbondong-bondong datang ke bilik suara guna menentukan nasib salah satu region di utara Irak itu.
Kotak suara disebar ke seluruh wilayah yang jatuh dalam yurisdiksi Kurdistan Regional Government (KRG) --pemerintah de facto Kurdistan Irak. Kota sengketa Kirkuk, yang diperebutkan oleh Baghdad dan Erbil (Ibu Kota Kurdistan Irak), turut menggelar referendum.
Akhir referendum dapat memberikan status kedaulatan (sovereign state) bagi Kurdistan Irak --yang semula hanya berstatus sebagai proto-state, usai diberikan otonomi de facto secara penuh oleh Baghdad pada 30 Januari 2005. Demikian seperti dilansir CNN.
Referendum itu dikecam oleh Iran dan Turki --dua negara yang masing-masing memiliki sejumlah kecil kelompok etnis Kurdi di wilayahnya.
Teheran dan Ankara menilai, referendum Kurdistan Irak berpotensi memicu hal serupa bagi Kurdistan Utara (di Turki) dan Kurdistan Timur (di Iran).
Kementerian Luar Negeri Turki menyebut referendum itu "tidak sah". Ankara juga menilai bahwa wilayah tersebut dapat memicu munculnya masalah keamanan dan kelompok radikal baru di kawasan.
Iran pun telah lama mengutuk referendum Kurdistan Irak, sejak perhelatan itu masih hanya sebatas wacana.
Amerika Serikat, Inggris, dan PBB telah mengimbau KRG untuk tidak mengadakan referendum, karena mampu menghambat upaya pemberantasan ISIS di kawasan.
Mereka yang mendukung berdaulatnya Kurdistan Irak menyebut referendum itu sebagai "sejarah yang sedang berproses".
Anggota Dewan Parlemen KRG, Perot Aziz, mengatakan, "Referendum itu didasari oleh ISIS, korupsi, ketidakmerataan perlakuan dan pembangunan, serta impunitas yang terjadi di Irak."
Pro-KRG juga menyebut bahwa Baghdad telah lama mengingkari janji untuk memperlakukan etnis Kurdi dan Arab (dominan) secara setara.
Sementara itu, etnis non-Kurdi yang berada di wilayah yurisdiksi KRG khawatir, kemerdekaan Kurdistan Irak justru akan membuat mereka sebagai "kelompok etnis kelas dua".
"Kebijakan Kurdi di Kirkuk adalah kebijakan Saddam Hussein," kata Ali Mehdi dari Front Turkmenistan Irak.
"Kirkuk sangat tegang saat ini dan orang Kurdi memaksa etnis non-Kurdi yang tertindas untuk berpartisipasi dalam referendum," tambah Aziz.
Advertisement