Liputan6.com, Jakarta - Menjadi jutawan sepertinya terdengar menyenangkan. Namun, tidak semua di antara kita yang bisa menjadi seperti itu.
Meski demikian, apakah ada hal-hal yang dilakukan berbeda oleh para jutawan dibanding orang berpenghasilan rata-rata? Apakah mereka pekerja yang lebih gigih atau mereka memiliki otak yang mampu membengkokkan sendok?
Dikutip dari theladders.com pada Rabu (4/10/2017), untuk penerbitan buku mereka, para penulis buku The Millionaire Next Door (TMND) dan The Millionaire Mind (TMM) melakukan survei terhadap 700 jutawan.
Advertisement
Temuannya, sekitar 80 persen dari mereka adalah orang yang membentuk diri sendiri (self-made) dan meraih semua kekayaan mereka dalam satu generasi.
Baca Juga
Namun, ada sejumlah hal yang mereka lakukan secara berbeda dari kebanyakan di antara kita. Berikut adalah empat pola yang bisa dipelajari dari para jutawan:
1. Sebagian Besar Jutawan adalah Wiraswata
Punya gagasan bagus untuk bisnis? Pastikan untungnya masuk ke kantung kita, bukan ke pihak lain.
Menurut TMND, sekitar 20 persen rumah tangga kaya Amerika Serikat (AS) dikepalai oleh para pensiunan. Lebih dari dua per tiga dari sisanya dikepalai oleh kaum wirausaha pemilik lebih dari satu bisnis.
Kemungkinan kaum wirausaha ini menjadi jutawan adalah empat kali lebih besar daripada mereka yang bekerja untuk orang lain walaupun memang penuh risiko. Kurang dari sepertiga perusahaan baru yang bisa bertahan lebih dari 10 tahun.
Seperti tertulis dalam The Illusions of Entrepreneurship, kaum jutawan memiliki cara pandang berbeda. Mereka menganggap bekerja kepada orang lain itulah yang berisiko karena bisa dipecat atau mungkin saja atasan mengambil keputusan yang salah.
Kaum jutawan ingin mengendalikan sendiri nasib mereka dan mereka cukup percaya diri. Penelitian mengungkapkan bahwa rasa percaya diri memang dapat meningkatkan penghasilan.
Selain penuh risiko, wirausaha juga menuntut kerja keras. Dari banyak negara yang disurvei, hanya dua negara yang mengungkapkan bahwa kaum wirausaha tidak bekerja lebih gigih daripada pekerja bergaji.
Lalu, mengapa orang melakukan sesuatu yang berisiko dan sukar? Penelitian mengungkapkan adanya hal yang membuat kita mencintai apa yang kita lakukan, yaitu otonomi.
Ada benarnya. Secara rata-rata, orang bergaji perlu penghasilan 2,5 kali lebih banyak untuk bisa sebahagia seorang wirausaha, demikian menurut The Illusions of Entrepreneurship.
Advertisement
2. Memilih Karier Secara Strategis
Mereka tidak memulai bisnis semata-mata hanya karena menyukainya. Bahkan, kaum jutawan mungkin saja tidak melakukan yang mereka mengerti atau miliki pengalaman.
Mereka memulai bisnis yang menurut mereka akan mendatangkan uang dan melihat peluang-peluang adanya banyak permintaan, tapi dengan sedikit pasokan.
Hal itu tidak mengagetkan secara nalar. Namun kenyataannya, kebanyakan orang tidak melakukan hal tersebut.
Menurut The Illusions of Entrepreneurship, tidak ada bukti bahwa kaum wirausaha memilih industri yang keuntungan, margin, dan pemasukannya lebih tinggi.
Sekitar 63 persen kaum wirausaha baru mengakui bahwa bisnis mereka tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hanya sepertiga yang benar-benar mencari gagasan bagus untuk bisnis.
Yang jelas, industri untuk memulai bisnis merupakan hal yang sangat penting karena ada beberapa industri yang kemungkinan suksesnya setidaknya 600 kali lebih besar daripada jenis bisnis lain, misalnya industri perangkat lunak (software) di AS.
Salah satu penulis buku TMM adalah seorang profesor sekolah bisnis. Setiap tahun ia bertanya kepada para mahasiswa tentang bisnis yang paling menguntungkan.
Dan, setiap tahun, tidak pernah ada yang bisa menjawab dengan benar. Jika mereka yang terdidik tidak mengetahuinya, bagaimana dengan orang kebanyakan?
Namun, para jutawan membanggakan diri berpikir secara berbeda dan mencari pasar yang kurang dilayani maupun kesempatan-kesempatan tersembunyi.
Sejujurnya perusahaan yang baru dibangun mungkin tidak terlalu menarik, bahkan mungkin bosan dan biasa saja (dull normal). Sejumlah usaha yang oleh TMND yang digolongkan sebagai dull normal adalah kontraktor pengelasan, juru lelang, petani padi, pembasmi hama, dan sejenisnya.
Tapi, walaupun melakukan sesuatu secara berbeda dengan caranya sendiri, mereka bukan orang menyebalkan. Sekitar 94 persen kaum jutawan mengatakan penting untuk "bisa rukun dengan orang-orang lain."
3. Etika Kerja Tinggi Walau Bukan Jenius
Kita sering mendengar pertanyaan, "Kalau kamu sedemikian pintar, kenapa kamu tidak kaya?"
Mau tahu berapa rata-rata indeks prestasi (IP) seorang jutawan AS? Hanya 2,9 pada skala 4,0.
Hanya sedikit yang disebut berbakat secara intelektual dan banyak yang secara langsung dinasehati bahwa mereka tidak mampu mengambil sekolah kedokteran, sekolah hukum, atau mengambil MBA.
Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa IP adalah penduga yang kurang baik untuk kesuksesan. Menurut TMM, "Tidak ada korelasi statistik kuat antara faktor produktivitas ekonomi (semisal kekayaan dan penghasilan) dengan angka ujian, peringkat saat kuliah, atau angka di universitas."
Dan mungkin inilah salah satu alasan kesukesan kaum wirausaha, karena orang yang "lebih pintar" lebih kecil kemungkinannya untuk mengambil risiko.
Menurut The Illusions of Entrepreneurship, "Orang yang mengedarkan narkoba semasa remaja akan 11 hingga 21 persen lebih berkemungkinan memulai bisnis sendiri sewaktu dewasa dibandingkan dengan orang-orang lain."
Dan tingginya tingkat wirausaha itu bukan karena kekayaan yang diperoleh dari berjualan narkoba atau kemungkinan mendapat catatan kriminal. Dalam wirausaha, kitalah yang menjadi bos dan hal itu tentulah memerlukan kepemimpinan.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa terlalu pintar malah membuat orang menjadi lebih buruk sebagai pemimpin.
Seperti yang diungkap dalam Mind in Context: Interactionist Perspectives on Human Intelligence, yaitu bahwa kecerdasan seorang pemimpin -- di bawah sejumlah kondisi -- justru berkaitan terbalik dengan kinerja.
Yang menarik, penelitian itu juga mengungkapkan bahwa kalau orang ingin menjadi teroris yang sukses, pastikanlah belajar keras sewaktu sekolah.
Benar, para calon jutawan memang bekerja keras. Tapi pujian paling lazim yang mereka dapat dari guru-guru sekolah adalah bahwa mereka paling dapat diandalkan.
Ketika ditanya tentang apa yang dipelajari di universitas, sekitar 94 persen menjawab "etika kerja yang tinggi." Penelitian menunjukkan bahwa disiplin pribadi lebih penting untuk sukses seseorang daripada IQ.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement
4. Berhemat
Ketika para penulis TMM mewawancarai kaum kaya, mereka tidak ingin responden merasa tidak nyaman. Para penulis menyewa suatu penthouse di Manhattan, menyajikan empat jenis pâté, tiga jenis kaviar, dan wine mahal.
Kaum miliarder datang dan menjadi canggung karena yang mereka makan hanyalah keripik gurih.
Ketika ditawari wine yang mewah, seorang peserta wawancara mengaku bahwa dia hanya minum dua jenis bir, yaitu yang gratis dan Budweiser.
Para peneliti tercengang. Mereka segera sadar bahwa pencitraan media tentang miliarder bukanlah mewakili keadaan yang sebenarnya.
Banyak yang mengira mereka senang pakaian super mewah? Tidak, sekitar 50 persen mengaku tidak pernah membeli jas lebih mahal dari US$ 399 dan sekitar 10 persen mengaku tidak mau membeli lebih dari US$ 195.
Jadi, kalau kita melihat seseorang yang mengenakan jas seharga US$ 1000, kemungkinan besar dia bukan seorang miliarder.
Simaklah perbandingan yang diberikan dalam TMND. Untuk setiap 1 miliarder pemilik jas seharga US$ 1000, setidaknya ada 6 pemilik lain yang penghasilan tahunannya berkisar antara US$ 50 ribu hingga US$ 200 ribu yang bukan miliarder.
Bagaimana dengan mobil? Lebih dari setengahnya tidak pernah membeli mobil yang lebih mahal dari US$ 30 ribu. Jadi, kalau melihat seseorang dalam Mercedes Benz, mungkin sekali ia bukan miliarder.
Seperti diungkapkan dalam TMND, ada sekitar 70 ribu Mercedes yang terjual di AS pada tahun lalu, setara dengan kira-kira 0,5 persen dari 14 juta kendaraan yang terjual di AS pada tahun itu.
Pada saat yang sama, ada hampir 3,5 juta rumahtangga jutawan di AS.
Apa artinya? Ditengarai lebih banyak anggota keluarga terkaya malah tidak memiliki mobil impor yang mahal. Kenyataannya, sekitar 2 di antara 3 pembeli kendaraan mewah impior di AS bukanlah kaum tajir.
Kebanyakan kaum kaya hidup seperti orang kebanyakan. Mereka hemat, tidak materialistis, dan berpikir ketat tentang jumlah yang harus dibelanjakan.
Menurut TTMND, ada hubungan terbalik antara waktu yang diluangkan untuk berbelanja barang mewah (mobil, pakaian mahal) dengan waktu yang diluangkan untuk merencanakan masa depan keuangan.
Semakin orang bersifat materialistis, semakin mereka tidak puas dengan kehidupan mereka. Seperti disebutkan dalam 100 Simple Secrets of the Best Half of Life, "Di antara para peserta penelitian, mereka yang nilai-nilainya paling materialistis menilai kehidupan mereka sebagai paling tidak memuaskan (Ryan dan Dziurawiec, 2001)."
Penelitian juga mengungkapkan bahwa orang akan menjadi lebih baik dengan keuangan ketika mereka berpikir dalam jangka panjang. Menurut para pakar, kita harus memiliki sistem dan mawas tentang keuangan.
Kebanyakan kaum miliarder menjawab "ya" kepada empat pertanyaan seperti tertera dalam TMND berikut ini:
1. Apakah rumah tangga kita berjalan dengan anggaran tahunan?
2. Tahukan kita tentang jumlah tahunan yang dibelanjakan keluarga untuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal?
3. Apakah kita memiliki tujuan-tujuan jelas dalam jangka harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan seumur hidup?
4. Apakah kita meluangkan banyak waktu untuk merencanakan masa depan finansial?