Kuba Diam-Diam Mendukung Kim Jong-un?

Kuba meminta AS untuk tidak mencampuri urusan Kim Jong-un, karena Havana dan Pyongyang tidak pernah mengurusi Washington.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 24 Nov 2017, 18:40 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2017, 18:40 WIB
Kuba Diam-Diam Mendukung Kim Jong-un?
Kim Jong-un mendatangi kedutaan besar Kuba di Pyongyang pada November 2016 untuk mengucapkan duka cita atas meninggalnya Fidel Castro (KNS / KCNA VIA KNS / AFP)

Liputan6.com, Havana - Kuba diam-diam memberi isyarat mendukung Korea Utara dalam perseteruan yang kian meningkat antara Presiden Donald Trump dan Kim Jong-un.

Menteri Luar Negeri Kuba dan Korea Utara bertemu pada hari Rabu untuk memperkuat aliansi antara negara mereka melawan tuntutan "sepihak dan sewenang-wenang" Trump. Dengan demikian, keduanya seperti menghidupkan kembali persahabatan era Perang Dingin. Demikian seperti dikutip dari Newsweek pada Jumat (24/11/2017).

Dalam beberapa bulan terakhir, Trump telah mengancam Korea Utara dengan "kehancuran total" jika negara itu menolak untuk mengekang program rudal nuklirnya. Ketegangan antara AS dan Korea Utara juga meningkat kala kedua negara saling memberikan julukan yang bombastis.

Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodríguez Parrilla menyerukan "penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan, dan kebebasan".

Kuba juga meminta AS untuk tidak mencampuri urusan Kim Jong-un, karena Havana dan Pyongyang tidak pernah mengurusi Washington.

Aliansi Havana dan Pyongyang muncul saat Korea Utara semakin terisolasi dari masyarakat internasional karena ancaman nuklirnya terhadap AS berlanjut.

"Kami sangat menolak daftar (negara sponsor terorisme), sebutan unilateral dan kesewenang-wenangan yang ditetapkan oleh pemerintah AS yang menjadi dasar penerapan tindakan pemaksaan yang bertentangan dengan hukum internasional," kata Parrilla dalam sebuah pernyataan.

Beberapa hari lalu, Trump menambahkan Korea Utara dalam daftar negara yang mensponsori terorisme.

Namun, para ahli memperingatkan bahwa langkah AS itu tidak akan banyak memengaruhi program nuklir Kim Jong-un.

Keputusan pemerintah AS tersebut diambil lima bulan setelah Otto Warmbier, seorang mahasiswa Amerika, meninggal setelah dipenjara Korea Utara lebih dari setahun.

Setelah memasukkan Korea Utara dalam daftar sponsor terorisme, Pyongyang dengan cepat menyerang Trump, memanggilnya "gembong segala jenis terorisme" dan menuduh dia tidak dapat mencegah terorisme di negaranya sendiri.

"Ini adalah provokasi serius dan pelanggaran keras terhadap negara kita yang bermartabat," kata seorang juru bicara Korea Utara kepada KCNA. 

Trump baru saja kembali dari perjalanan 12 hari ke Asia, di mana dia sangat fokus pada meningkatnya ketegangan akibat program nuklir dan uji coba rudal jarak jauh Korea Utara. AS telah berupaya memutuskan hubungan perdagangan internasional dengan Korea Utara.

Pada pekan lalu, Sudan mengumumkan akan mengakhiri hubungan perdagangan dan militer dengan Korea Utara. Sementara Mesir, Uganda, Filipina, Meksiko, Peru, Kuwait, dan Spanyol mengusir diplomat Korea Utara pada bulan September menyusul uji coba nuklir keenam yang dilakukan oleh Kim Jong-un.

 

'Dua Sejoli' Sisa Perang Dingin

Kuba dan Korea Utara adalah yang terakhir di dunia yang mempertahankan ekonomi dan pemerintahan bergaya Soviet. Meskipun di bawah Presiden Raul Castro, negara Karibia itu telah mengambil beberapa langkah kecil menuju komunisme China yang berorientasi pasar.

Kuba mempertahankan kedutaan di Korea Utara, tapi perdagangan umum hampir secara eksklusif dilakukan dengan Korea Selatan.

Tahun lalu, perdagangan dengan Seoul adalah US$ 67 juta dan dengan Utara hanya US $ 9 juta, menurut pemerintah Kuba.

Korea Utara membela program persenjataannya sebagai pertahanan yang diperlukan untuk melawan rencana AS menyerang negara mereka.

Amerika Serikat, yang memiliki 28.500 tentara di Korea Selatan, menyangkal adanya niat semacam itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya