Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, mengucapkan terima kasih kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena secara resmi telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negaranya.
Didampingi Wakil Presiden Mike Pence, Trump mengumumkan pengakuan atas Yerusalem tersebut di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, pada Rabu waktu Washington.
"Terima kasih Presiden Trump atas keputusan bersejarah hari ini untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Umat dan negara Yahudi akan selalu mensyukurinya," ungkap PM Netanyahu seperti dikutip dari independent.co.uk, Kamis (7/12/2017).
Advertisement
"Langkah ini mencerminkan komitmen Presiden (Trump) atas sebuah kebenaran kuno namun abadi, untuk memenuhi janjinya dan untuk memajukan perdamaian."
"Tidak ada perdamaian yang tidak memasukkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," tegas Netanyahu.
Sebaliknya, kebijakan Trump disambut kecaman oleh Palestina, negara-negara Arab lainnya, bahkan sekutu AS. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut, langkah Trump akan "memberi amunisi" bagi organisasi ekstremis.
"Prosedur ini juga akan membantu organisasi ekstremis untuk melakukan perang atas nama agama yang akan membahayakan seluruh wilayah dan akan membawa kita ke dalam perang yang tidak akan pernah berakhir," ungkap Presiden Abbas dalam pidatonya di televisi.
Baca Juga
Kepala Perunding Palestina Saeb Erakat mengatakan bahwa keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel "mendiskualifikasi AS untuk memainkan peran apa pun dalam setiap proses perdamaian".
Kecaman keras juga disampaikan Raja Abdullah dari Yordania.
"Tidak ada alternatif atas solusi dua negara, dan Yerusalem adalah kunci untuk setiap kesepakatan damai," kata Raja Abdullah dalam kunjungannya ke Turki di mana saat menyampaikan pernyataan ini ia didampingi oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Menurut CNN, Raja Abdullah pun menyatakan bahwa kesepakatan damai harus memungkinkan lahirnya sebuah negara Palestina yang merdeka. "Mengabaikan hak-hak muslim dan Kristen Palestina di Yerusalem dapat memicu terorisme."
Pernyataan senada diungkapkan Presiden Erdogan. Menurutnya, langkah keliru yang dilakukan Trump terkait Yerusalem akan mengatalisasi reaksi di seluruh dunia Islam yang dapat menghancurkan fondasi perdamaian.
"Tidak ada ambisi pribadi seseorang yang boleh mengubah nasib miliaran orang. Langkah itu hanya akan membesarkan hati organisasi teroris," jelas Presiden Erdogan.
Penolakan atas kebijakan Trump juga datang dari Presiden Prancis Emmanuel Macron. Presiden berusia 39 tahun tersebut menyesalkan keputusan Trump dan mengatakan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan seluruh resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Status Yerusalem adalah masalah keamanan internasional yang menyangkut seluruh masyarakat internasional. Status Yerusalem harus ditentukan oleh orang Israel dan Palestina dalam rangka perundingan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Macron pada sebuah konferensi pers di Algiers.
Yerusalem, 'Jantung' Konflik Israel-Palestina
Masa depan Yerusalem merupakan isu penting dalam konflik Israel-Palestina. Melalui pidato Trump, resmi sudah, AS menjadi negara pertama yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mengumumkan pendiriannya pada 1948.
Israel menduduki Yerusalem Timur sejak Perang 1967 dan pada 1980 Tel Aviv mencaploknya dan mengklaimnya sebagai domain eksklusif mereka. Di bawah hukum internasional, Yerusalem dianggap sebagai wilayah yang diduduki.
Versi Israel, Yerusalem yang merupakan kota suci tiga agama, Yahudi, Islam dan Kristen adalah ibu kota abadi dan tak dapat dibagi. Sementara, Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan.
Selama kampanye Pilpres AS tahun lalu, Trump menyatakan dukungan kuatnya bagi Israel. Pada hari pertamanya di Gedung Putih, Trump berjanji akan memerintahkan relokasi Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem -- bentuk teknis atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara.
Advertisement