Liputan6.com, Pyongyang - Selama ini pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, jarang muncul menyikapi isu internasional yang tak terkait dengan negaranya. Namun terkait krisis Yerusalem, Kim Jong-un mengambil langkah bergabung dengan pemimpin dunia lainnya seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Mereka mengecam keputusan Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Keputusan Presiden Trump untuk mengakui Al-Quds sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke sana patut mendapat kecaman dan penolakan global karena itu merupakan pembangkangan terbuka dan penghinaan terhadap legitimasi internasional dan keinginan masyarakat internasional," demikian laporan media Korea Utara, KCNA, melansir pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri seperti dikutip dari express.co.uk pada Minggu (11/12/2017).
Korea Utara mengatakan, keputusan Trump soal Yerusalem menunjukkan "warna asli AS" dan tidak mengejutkan, mengingat sejarah kebijakan Trump sejak ia berkuasa.
Advertisement
Baca Juga
"Keputusan AS ini tidak terlalu mengejutkan karena dilontarkan oleh seorang orang tua berpenyakit mental yang telah menyerukan 'kehancuran total' atas sebuah negara berdaulat di forum PBB yang suci," ungkap pernyataan tersebut.
"AS harus menanggung tanggung jawab penuh atas seluruh konsekuensi ketegangan dan ketidakstabilan yang akan terjadi di wilayah Timur Tengah karena tindakannya yang ceroboh dan congkak."
Korea Utara menegaskan bahwa isu Yerusalem harus diselesaikan "secara adil dengan mendapatkan kembali hak-hak nasional rakyat Palestina".
"Dari gagasan eksternal tentang kemerdekaan, perdamaian dan persahabatan, kami mengutuk keras aksi AS dan mengungkapkan dukungan serta solidaritas kami terhadap rakyat Palestina dan masyarakat Arab lainnya...," sebut pernyataan otoritas Korea Utara.
Protes Menentang Keputusan Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Rabu 6 Desember waktu Washington, secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusannya tersebut "bertentangan" dengan kebijakan luar negeri AS yang telah berjalan selama tujuh dekade.
Pengumuman Trump sekaligus menandai langkah awal pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Hari ini, akhirnya kita mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini tidak lebih dari sekadar pengakuan akan realitas. Ini juga hal yang tepat untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan," ujar Trump saat berpidato di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, seperti dikutip dari nytimes.com.
Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. Sementara, menurut Trump, kebijakan penolakan tersebut membawa seluruh pihak "tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel-Palestina".
"Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda atau lebih baik," ungkap Presiden ke-45 AS tersebut.
Pengakuan terhadap Yerusalem, menurut Trump, adalah "sebuah langkah terlambat untuk memajukan proses perdamaian".
Trump sebelumnya telah bersumpah akan menjadi perantara "kesepakatan akhir" antara Israel dan Palestina. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa dirinya tetap berkomitmen untuk melakukan hal tersebut mengingat "itu sangat penting bagi Israel dan Palestina".
Ayah lima anak itu mengatakan, keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak seharusnya ditafsirkan bahwa AS mengambil posisi tertentu atau bagaimana kota itu akan dibagi.
"Dalam pengumuman ini, saya ingin mempertegas satu hal: keputusan ini tidak dimaksudkan, dengan cara apa pun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel maupun Palestina."
"Kami tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu tertentu, termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat," ujar Trump.
Sebagai gantinya, Trump menekankan dimensi politik dalam negeri atas keputusannya tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam kampanye Pilpres 2016, ia telah berjanji untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem yang berarti mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel.
"Presiden-Presiden sebelumnya telah menjadikan itu sebagai janji utama dalam kampanye mereka, tapi mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya melakukannya," tutur suami dari Melania tersebut.
Terkait dengan kebijakan Trump, aksi protes digelar di sejumlah daerah termasuk di Palestina. Pada hari Jumat 9 Desember, dua warga Palestina terbunuh di Gaza dalam bentrokan dengan pasukan keamanan Israel.
Korban jiwa pertama adalah seorang pria 30 tahun yang tewas akibat berondongan peluru pihak Israel. Kematian pertama pasca-pernyataan sikap Donald Trump itu dikonfirmasi oleh pihak Kementerian Kesehatan Gaza Palestina.
Sementara, korban kedua bernama Maher Atallah (54). Juru bicara kementerian Ashraf al-Qudra mengatakan, korban tewas akibat cedera parah yang dideritanya dalam bentrokan dengan pihak Israel.
Makin dekat dengan Yerusalem, situasinya pun memanas. Sebuah roket ditembakkan dari Jalur Gaza dan kemudian dicegat sistem anti-misil canggih milik Israel, Iron Dome.
"Tak ada laporan korban luka akibat insiden tersebut," demikian pernyataan pihak militer negeri zionis.
Sebagai pembalasan, pesawat tempur Israel menyerang sejumlah target militer Hamas di Jalur Gaza.
Tak lama kemudian, roket ketiga yang diluncurkan dari Gaza menghantam kota Sderot di Israel, merusak sejumlah kendaraan.
Kementerian Kesehatan Palestina menyebut, setidaknya 15 orang terluka akibat serangan udara yang dilancarkan pihak Tel Aviv. Media Inggris express.co.uk melansir, setidaknya dua orang tewas akibat serangan udara tersebut.
Advertisement