Presiden Erdogan Pecat Lebih dari 18.000 PNS Turki

Pemerintahan Presiden Recep Erdogan memecat lebih dari 18.000 aparatur sipil negara. Diduga sebagai bentuk pembersihan figur eks kudeta 2016.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 09 Jul 2018, 12:30 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2018, 12:30 WIB
Menang Pemilu Turki, Erdogan Sapa Ribuan Pendukung di Ankara
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan istri, Emine menyapa pendukung Partai AKP di Ankara, Turki, Senin (25/6). Pemilu ini untuk pertama kalinya digelar sejak Turki mengubah sistem parlementer ke presidensial. (Presidency Press Service via AP, Pool)

Liputan6.com, Ankara - Pemerintah Turki memecat puluhan ribu aparatur sipil negara pada Minggu, 8 Juli 2018, atau sehari sebelum pelantikan Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden untuk periode kedua, usai kemenangannya dalam pemilu bulan lalu.

Seperti dikutip dari Financial Times, Senin (9/7/2018), Erdogan menyetujui dekrit pemecatan itu pada Minggu 8 Juli, yang kemudian dirilis melalui Official Gazette of the Republic of Turkey --jurnal publikasi untuk dokumen hukum atau legislasi nasional.

Jumlah yang dipecat mencapai 18.632 orang. Sekitar 9.000 di antaranya merupakan anggota kepolisian, lebih dari 6.000 lainnya adalah personel tentara, dan ratusan sisanya merupakan guru dan dosen di penjuru Turki.

Paspor mereka juga dicekal oleh pemerintah.

Dekrit tersebut juga melarang eksistensi dan aktivitas 12 organisasi masyarakat, tiga surat kabar, dan sebuah saluran televisi.

Banyak pihak menilai, langkah itu dilakukan sebagai bentuk pemenuhan janji kampanye Erdogan yang hendak 'membersihkan korps aparatur negara dari sisa-sisa figur yang terlibat dalam kudeta Turki 2016'. Demikian seperti dikutip dari The Telegraph.

Langkah itu juga terjadi beberapa hari jelang kadaluarsa status darurat yang ditetapkan oleh pemerintah Turki sebagai respons dari kudeta dua tahun lalu. Tanggal kadaluarsa status darurat jatuh pada 18 Juli 2018.

Erdogan telah mengawasi serangkaian aksi 'pembersihan' sejak kudeta Juli 2016 --di mana sejumlah faksi militer Turki melancarkan operasi untuk menggulingkan pemerintah dan pemimpinnya.

Turki menyalahkan ulama dan pengusaha yang diasingkan, Fethullah Gullen --yang hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat-- sebagai dalang kudeta. Gullen membantah terlibat.

Usai dua tahun kudeta, banyak pihak mengharapkan agar status darurat yang ditetapkan oleh pemerintah Turki segera dicabut, ketimbang Ankara berlarut-larut melakukan 'pembersihan' dari para figur yang diduga terlibat dalam kudeta tersebut.

Di sisi lain, Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut, lebih dari 160.000 aparatur sipil negara Turki telah dipecat sebelum peristiwa terbaru ini. Sekitar sepertiga di antaranya telah secara resmi didakwa, dipersidangkan atau dipenjarakan.

Sementara itu, pada Senin 9 Juli 2018, Reccep Erdogan akan dilantik menjadi presiden Turki untuk periode kedua, dalam sebuah seremoni yang dihadiri oleh puluhan ribu pendukung dan sejumlah pejabat tinggi negara sahabat, seperti Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Presiden Venezuela Nicolas Maduro, dan lain-lain.

Sebuah parlemen baru dengan mayoritas politisi pro-Erdogan dengan kekuasaan pengawasan yang minim, telah disumpah pada hari Sabtu 7 Juli. Binali Yildirim, perdana menteri, yang jabatannya akan dihapuskan setelah Erdogan disumpah, dinominasikan untuk menjadi ketua parlemen.

 

Simak video pilihan berikut:

Pembelaan Turki

Menang Pemilu Turki, Erdogan Sapa Ribuan Pendukung di Ankara
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyapa pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Ankara, Turki, Senin (25/6). Presiden Jokowi mengucapkan selamat atas kembali terpilihnya Erdogan sebagai presiden. (Presidency Press Service via AP, Pool)

Pemerintah Turki telah membela rangkaian 'pembersihan' itu, menyebutnya sebagai 'langkah yang diperlukan untuk memerangi ancaman terhadap keamanan nasional'.

Tetapi, para kritikus Barat mengatakan bahwa banyak di antara mereka yang menjadi target 'pembersihan' sejatinya tidak terlibat signifikan dalam kudeta 2016, melainkan, hanya semata-mata oposisi politik yang dinilai mengancam kemapanan kekuasaan Presiden Erdogan.

Pada April 2017, Erdogan memimpin referendum konstitusi yang menghasilkan 18 amandemen, termasuk: penghapusan jabatan Perdana Menteri, penggantian sistem parlemen Turki dengan sistem presidensial, dan peningkatan kekuatan kepresidenan yang signifikan.

Para sekutu Turki, khususnya di Barat, telah menuduh Erdogan menerapkan pemerintahan otoritarianisme dan menggunakan tindakan pasca-kudeta sebagai alasan untuk membatalkan perbedaan pendapat.

Hubungan antara Turki dan AS telah memburuk secara signifikan atas masalah ini, tetapi Turki tidak goyah dari kebijakannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya