Selandia Baru Beli Jet Anti-Kapal Selam dari AS, Waspada Terhadap Ancaman China?

Selandia Baru dikabarkan membeli jet militer baru dari AS. Konon kabarnya untuk berjaga-jaga dari ancaman China yang kian kuat di Pasifik. Benarkah demikian?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 10 Jul 2018, 11:43 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2018, 11:43 WIB
Pasukan Militer Selandia Baru melakukan apel pagi di ibu kota Wellington (AP Photo)
Pasukan Militer Selandia Baru melakukan apel pagi di ibu kota Wellington (AP Photo)

Liputan6.com, Wellington - Pemerintah Selandia Baru mengumumkan pembelian jet militer AS senilai US$ 1,6 miliar pada Senin, 9 Juli 2018. Kendaraan tempur itu disebut mampu memanipulasi serangan target misil kapal selam.

Pembelian jet militer tersebut dilakukan sebagai upaya pengintegrasian pasukan Negara Kiwi dengan dua sekutu utamanya, AS dan Australia, dalam melawan ancaman penguatan yang mencoba melawan penumpukan militer China di Pasifik.

"Pembelian empat unit pesawat Boeing P-8A Poseidon bertujuan memperkuat Reset Pasifik Pemerintah koalisi, dengan menyediakan kemampuan patroli maritim yang memiliki jangkauan dan ketahanan signifikan, guna turut serta dalam kerja sama militer, menjaga perdamaian di Pasifik," ujar Menteri Pertahanan Selandia Baru Ron Kata Mark, sebagaimana dikutip dari CNN pada Selasa (10/7/2018).

Ditambahkan oleh Kata Mark, bahwa pembelian jet militer itu merupakan salah satu tindak lanjut terhadap Pernyataan Kebijakan Pertahanan Strategis terbaru, yang dirilis pada Jumat, 6 Juli 2018.

Di dalam kebijakan tersebut, Selandia Baru memperingatkan pengaruh Tiongkok yang meningkat di Pasifik, termasuk fasilitas militernya yang terus diperluas di Laut China Selatan, di mana Beijing membentengi pulau-pulau di dekat beberapa jalur pelayaran utama dunia.

Dokumen setebal 40 halaman itu mengatakan China menantang tatanan yang ada di kawasan Pasifik, sekaligus meningkatkan keterlibatan dan investasinya di negara-negara Oceania, yang membuat pengaruh Selandia Baru telah kian goyah dalam beberapa tahun terakhir.

Selain itu, dokumen terkait juga menyebut prioritas kebijakan baru China berpotensi merusak "hak asasi manusia, kontrol senjata dan upaya non-proliferasi".

Sementara itu, masih menurut dokumen yang sama, Australia dan AS berusaha memperkuat perdamaian dan stabilitas regional, dengan fokus terhadap "keamanan maritim dan kebebasan navigasi".

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Latihan Militer Terbesar di Pasifik

Kapal induk Amerika Serikat, USS Carl Vinson
Sebuah kapal induk Amerika Serikat, USS Carl Vinson merapat ke pelabuhan Danang, Vietnam, Senin (5/3). Ini menjadi kunjungan kapal induk Angkatan Laut (AL) AS pertama ke Vietnam dalam 40 tahun sejak akhir Perang Vietnam. (CHAN NHU / AFP)

Sementara itu, kantor pertahanan Amerika Serikat (AS), Pentagon, dikabarkan memulai agenda "permainan perang" Angkatan Laut terbesar di dunia pada pekan lalu. Latihan selama dua setengah bulan di kawasan Pasifik, yang dikenal sebagai RIMPAC, mendatangkan 46 buah kapal perang dan kapal selam, 200 unit pesawat terbang dan 25.000 pasukan dari 25 negara.

Satu-satunya negara Asia Pasifik yang absen dalam agenda tersebut adalah Tiongkok, yang tidak diundang oleh RIMPAC karena militerisasi pulau-pulau di Laut China Selatan.

Dikutip dari CNN pada 2 Juli 2018, ketika kapal-kapal peserta RIMPAC tiba di Hawaii, militer China dikabarkan tengah menyelesaikan latihan Angkatan Lautnya sendiri, termasuk uji coba misil yang mengambil tempat tidak jauh dari Taiwan sejak 17 Juni lalu.

Oleh beberapa pengamat, persaingan "permainan perang" antara Amerika Serikat dan China dianggap tumpang tindih, karena cenderung berebut pengaruh di Pasifik, dibandingkan menjaga stabilitas keamanan.

Namun, menurut para pemimpin militer AS, RIMPAC adalah tentang "membangun hubungan", di mana keikutsertaan tahun ini bertambah oleh beberapa negara ASEAN yang memiliki klaim di wilayah Laut China Selatan, yaitu Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya