Liputan6.com, Kolombo - Pemerintah Sri Lanka merilis sebuah kebijakan baru berupa hukuman gantung bagi pengedar obat-obatan terlarang. Pengumuman yang disampaikan pada Rabu, 11 Juli 2018 itu mengakhiri hampir setengah abad moratorium hukuman mati, di mana pejabat setempat mengaku terinspirasi oleh "keberhasilan Filipina memerangi narkoba".
Dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (12/7/2018), Presiden Maithripala Sirisena, menurut juru bicara pemerintah Rajitha Senaratne, telah mengatakan kepada kabinet bahwa ia "siap untuk menandatangani surat kematian" bagi pengedar narkoba kategori residivis.
"Mulai sekarang, kami akan menjatuhkan hukuman gantung bagi pelanggar peredaran narkoba, tanpa ada ampun," kata Presiden Sirisena di hadapan media.
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, Sri Lanka telah mengubah hukuman mati untuk kejahatan berat menjadi penjara seumur hidup sejak tahun 1976, ketika eksekusi terakhir terjadi.
Jubir Senaratne mengatakan ada 19 residivis narkoba yang hukuman matinya telah diubah menjadi seumur hidup. Namun, belum diketahui pasti apakah mereka akan terkena kebijakan baru tersebut atau tidak.
Tetapi pihak berwenang mengatakan, pendekatan yang lebih keras diperlukan untuk memerangi apa yang disebut sebagai peningkatan kejahatan terkait narkoba.
Jubir Senaratne mengutip sebuah kasus di Sri Lanka pekan ini, di mana seorang pengedar narkoba, yang hukuman matinya diubah menjadi seumur hidup, kedapatan mengendalikan impor heroin sebanyak 100 kilogram dari balik jeruji.
Hal tersebut, menurutnya, menjadi salah satu alasan kuat di balik keputsuan Presiden Sirisena untuk segera menerapkan hukuman gantung.
Simak video pilihan berikut;
Terinspirasi Presiden Duterte
Disebutkan bahwa pemerintah Sri Lanka terinspirasi oleh apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, yang melakukan perang terhadap narkoba dengan cara menembak mati pengedar dan pengguna yang mengelak saat ditangkap.
"Kami diberitahu bahwa Filipina telah berhasil mengerahkan tentara dan menangani masalah ini. Kami akan mencoba untuk mereplikasi keberhasilan mereka," kata jubir Senaratne.
Pemerintah belum menjelaskan bagaimana mereka akan mengerahkan pasukan, tetapi di masa lalu, kebijakan hukuman nati telah digunakan untuk memperkuat polisi lokal dalam kendali kerusuhan.
Di lain pihak, Presiden Duterte disebut gencar menembak mati siapapun yang terlibat dalam perdagangan narkoba di Filipina, termasuk pejabat, atas dasar hukum yang telah disahkan oleh parlemen.
Otoritas Filipina mengatakan telah menembak mati lebih dari 4.200 tersangka narkoba yang menentang penangkapan.
Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlah korban tewas yang sebenarnya, setidaknya tiga kali lipat lebih banyak, dan bisa menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Advertisement