Donald Trump ke Inggris, Lagu 'American Idiot' Menggema di Seantero Britania Raya

Lagu 'American Idiot' yang dipopulerkan oleh band rock asal Amerika Serikat, Green Day, sambut kedatangan Donald Trump di Inggris.

oleh Afra Augesti diperbarui 13 Jul 2018, 14:05 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2018, 14:05 WIB
20161018-Green-Day-AS-AFP
Para penonton menikmati konser Grup band punk-rock legendaris asal Amerika Serikat, Green Day di Hollywood Palladium, AS (17/10). Green Day mengalahkan Norah Jones dan OneRepublic pada tangga Billboard. (AFP Photo/Kevin Winter)

Liputan6.com, London - Donald Trump telah tiba di Inggris pada hari Kamis, 12 Juli pada pukul 15.19 waktu setempat. Presiden Amerika Serikat dan istrinya, Melania, akan melakukan lawatan kerja selama empat hari di Britania Raya.

Selama berada di Inggris, Trump dijadwalkan bertemu dengan Ratu Elizabeth II di Istana Windsor, berbicara dengan Perdana Menteri Theresa May di Chequers, serta bermain golf di Turnberry, Skotlandia, demikian menurut laporan The Guardian.

Sementara itu, dikutip dari The Independent, Jumat (13/7/2018), sejumlah aktivis melakukan aksi unjuk rasa guna "menyambut" orang nomor satu di Negeri Paman Sam tersebut. Selain berdemo, mereka juga menggunakan sejumlah cara kreatif untuk melayangkan protes, meski terbilang "menusuk".

Di antaranya menyebarluaskan dan menggaungkan American Idiot karya band legendaris Amerika Serikat, Greeen Day. Lagu yang dipopulerkan oleh grup musik beraliran punk rok itu dirilis pada 20 September 2004 di Inggris dan 21 September 2004 di AS. Lagu ini sempat tenar di eranya, bahkan hingga sekarang.

Ide untuk memutar American Idiot di berbagai platform musik di Inggris dicetuskan oleh akun Twitter @TrumpIdiotNo1. Ini merupakan salah satu bentuk protes kedatangan Donald Trump di negara tersebut.

Di situs jual-beli Amazon, single itu menempati urutan nomor satu dalam jajaran lagu terlaris sejak 9 Juli. Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di iTunes.

Lagu ciptaan sang frontman, Billie Joe Amstrong ini, masuk dalam daftar 10 besar hits terbanyak dibeli dan didengarkan, menurut Huffington Post.

Sebuah laporan juga menyebut, American Idiot memecahkan 20 besar tangga lagu resmi di Inggris.

Semua hal di atas adalah trik yang digunakan oleh para aktivis untuk melayangkan protes kepada Donald Trump. Selain itu, mereka juga mengampanyekan berbagai isu terkait melalui lagu tersebut.

Akun @TrumpIdiotNo1 mendorong para penggemar Greeen Day untuk mengunduh dan memutarnya secara streaming dari Jumat 6 Juli hingga akhir 12 Juli, sehingga lagu tersebut akan menempati urutan teratas di tangga lagu ketika Donald Trump menginjakkan kakinya di Britania Raya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tema Album

20161018-Green-Day-AS-AFP
Vokalis Green Day, Billie Joe Armstrong saat menghibur penonton saat konser di Hollywood Palladium, AS (17/10). Grup band yang dibentuk pada 1987 silam tersebut bukan pertama kalinya meraih tangga Billboard. (AFP Photo/Kevin Winter)

American Idiot adalah single yang terdapat dalam album dengan judul serupa. Lagu ini terinspirasi oleh politik kontemporer yang terjadi di Amerika, seperti era kepresidenan George W. Bush dan kaitannya dengan perang di Irak. Secara eksplisit, hanya ada dua lagu bertema politik di album itu: American Idiot dan Holiday.

Tetapi hanya di album inilah Green Day menggambarkan koneksi kasual antara disfungsi sosial Amerika dan kekuasaan Bush. Berikut cuplikan liriknya:

"Don't wanna be an American idiot

One nation controlled by the media

Information Age of hysteria

It's calling out to idiot America."

Dalam lirik lagu tersebut, Billie Joe Armstrong menuliskan rasa kecewanya dengan terpilihnya Bush menjadi presiden AS dalam pemilu 2004. Ia juga dipusingkan dengan perpecahan budaya yang terjadi Negeri Paman Sam, sehingga memantik opini publik yang mengaitkannya dengan perang Irak.

Armstrong merasa punya kewajiban untuk menjauhkan anak-anak dari gambar-gambar kekerasan, termasuk video game, berita tentang perang di Irak, serta serangan 9/11. Armstrong mencatat, perpecahan budaya yang terjadi di AS disebabkan oleh "tayangan televisi" (yang katanya hanya menampilkan pemberitaan dari TV kabel) dan pandangan dunia tentang Amerika.

Sang basis, Mike Dirnt, juga memiliki pandangan sama. Terlebih setelah dirinya menonton film dokumenter buatan tahun 2004: Fahrenheit 9/11.

"Anda tidak perlu menganalisis setiap informasi untuk mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak benar, dan sudah waktunya untuk membuat perubahan," katanya dalam sebuah wawancara khusus beberapa tahun silam.

Kala itu, ia berharap film tersebut bisa merasuki otak generasi muda untuk "menendang" Bush keluar dari kursi kepresidenan.

George W Bush sudah tak lagi berkuasa. Namun, lagu itu kembali dikumandangkan. Kali ini untuk Donald Trump.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya