Liputan6.com, Brussels - Usai Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran pada 5 November lalu, negara-negara Eropa, China, dan Rusia menegaskan bahwa mereka tak menghiraukan hal itu serta akan tetap 'berjalan sendiri' sesuai dengan kesepakatan yang ada.
Senin pekan ini, AS telah resmi menjatuhkan sanksi ekonomi keras yang menargetkan sektor perminyakan dan finansial Iran.
Sanksi itu bertautan dengan kebijakan AS untuk memberikan 'tekanan maksimum' kepada Iran, sebagai upaya agar negara di Timur Tengah tersebut berhenti mengembangkan senjata nuklir.
Advertisement
Baca Juga
Hal itu dilatarbelakangi atas kritik Presiden AS Donald Trump terhadap pakta Kesepakatan Pembatasan Nuklir Iran (JCPOA) yang diteken oleh AS, Iran, negara P5 Dewan Keamanan PBB plus Uni Eropa pada 2015 silam.
Kesepakatan itu mewajibkan Iran untuk menghentikan aktivitas pengayaan uranium (enriched uranium) dan sebagai gantinya, AS dan Eropa mencabut sanksinya terhadap Negeri Para Mullah.
Namun, Trump menarik AS keluar dari JCPOA awal tahun ini, dengan beralasan bahwa kesepakatan itu tak lagi efektif menekan Iran untuk tak membuat nuklir. Ia juga menuduh bahwa Teheran melanggar JCPOA --yang dibantah oleh Iran.
Usai keluar dari JCPOA, AS kembali memberlakukan sanksi secara sepihak terhadap Iran. Beberapa set sanksi telah diterapkan oleh AS pada 5 Agustus dan disusul oleh sanksi pada Senin 5 November.
Sanksi 5 Agustus menargetkan industri otomotif dan penerbangan Iran. Sementara, sanksi 5 November memukul sektor minyak dan gas Iran, sektor pelayaran dan bank-banknya --dengan bertujuan untuk "membuat ekspor minyak Iran menjadi nol" kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Presiden AS Donald Trump percaya diri bahwa sanksi itu telah berhasil membuat Iran dalam kondisi yang 'tertekan'.
"Sanksi sangat kuat, mereka adalah sanksi terkuat yang pernah kami kenakan. Dan kami akan melihat apa yang terjadi dengan Iran, tapi mereka akan dalam kondisi yang sangat tidak baik."
Ditentang Eropa
Langkah AS pun ditentang anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan Uni Eropa yang menganggap bahwa JCPOA masih dianggap efektif dalam memberikan tekanan dan pengendalian nuklir Iran. Mereka juga mengimbau agar AS mencabut sanksi terhadap Negeri Para Mullah.
Uni Eropa menganggap JCPOA penting bagi kepentingan regional mereka, dan mengatakan mereka berniat untuk terus menghormatinya. Tapi sampai saat ini, mereka belum berhasil menempatkan mekanisme untuk menghindar dari sanksi tanpa membebani pemerintah AS.
Inggris, Prancis dan Jerman mengatakan mereka akan terus mematuhi JCPOA, seperti halnya China dan Rusia. Mereka mencoba untuk menjaga Iran tetap patuh pada traktat itu, dan juga, melawan sanksi AS, demikian seperti dikutip dari The New York Times, Selasa (6/11/2018).
Uni Eropa juga mengusulkan agar perusahaan global tetap berdagang dengan Iran meskipun ada sanksi baru ini. Eropa juga telah memperjelas niat mereka untuk tidak mengikuti jejak AS.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada hari Jumat, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, dan menteri luar negeri dan keuangan Inggris, Prancis dan Jerman mengatakan mereka "sangat menyesalkan" sanksi AS terhadap Iran dan tengah berupaya untuk terus bertransaksi minyak dengan Teheran dengan menggunakan mekanisme pembayaran khusus.
Tapi, Eropa telah menemukan kesulitan untuk mengatur mekanisme pembayaran alternatif untuk menghindari sistem perbankan AS yang dominan dan memungkinkan Iran agar terus menjual minyak dan barang-barangnya. Dan sejauh ini, belum ada negara Eropa yang setuju untuk menerapkan mekanisme pembayaran alternatif itu, karena takut akan balasan AS --sekutu terdekat mereka.
Â
Â
Simak video pilihan berikut:
Tetap Berimbas kepada Eropa
Secara realistis, para pejabat Eropa mengatakan, mereka mungkin dapat mempertahankan hanya 20 persen hingga 30 persen dari total transaksi perdagangan yang ada dengan Iran, mengingat, perusahaan-perusahaan Eropa besar yang memiliki hubungan dengan Amerika Serikat telah menarik diri dari Iran atau sedang dalam proses untuk melakukannya usai sanksi AS diberlakukan.
Di sisi lain, Rusia, yang hanya terpapar sedikit terhadap sanksi AS dan bersekutu dengan Iran di Suriah, telah mengatakan akan terus membeli dan memperdagangkan minyak dan gas dari Negeri Para Mullah --yang kemudian mereka jual ke negara lain.
Washington sendiri memberikan keringanan kepada delapan negara, termasuk Turki dan China, untuk terus membeli migas dari Iran. Tapi ada syaratnya, jelas Washington, yakni dengan menjaga pasar minyak tetap stabil. Namun, keringanan tersebut tidak permanen.
Iran telah bersedia untuk tetap bertahan dalam JCPOA dan telah mempromosikan dukungan Eropa terhadap mereka kepada publik domestik, meskipun rasa sakit ekonomi dari sanksi AS terus berdampak buruk bagi Negeri Para Mullah.
Di samping sanksi dari AS, Iran, selama 12 bulan terakhir, telah merasakan menukiknya nilai mata uang rial, goyahnya tim ekonomi Presiden Hassan Rouhani --yang melihat beberapa menteri senior diberhentikan-- dan protes nasional terhadap kenaikan harga dan kondisi ekonomi yang mengerikan.
Berdasarkan angka-angka dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), ekspor minyak Iran mencapai US$ 52.728 miliar pada tahun 2017, dengan mencapai 2.125.000 barel per hari pada tahun yang sama. Sedangkan, ekspor gas alamnya mencapai 12,9 miliar meter kubik.
Angka-angka itu, bagaimanapun, telah menurun pada tahun ini.
Di India, misalnya, impor minyak mentah dari Iran turun dari 690.000 barel per hari pada bulan Mei 2018, menjadi sekitar 400.000 barel per hari pada bulan Agustus 2018, kata Vandana Hari, seorang analis pasar minyak global yang berbasis di Singapura, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Ekspor energi Iran menyumbang hingga 80 persen dari pendapatan negara itu, menurut Badan Informasi Energi AS, sehingga, sanksi akan menghujam keras keuangan dan orang-orang di dalam negeri.
Advertisement