Ahli: Perubahan Iklim Bisa Bahayakan Ekonomi dan Membunuh Ribuan Orang di AS

Donald Trump tak percaya perubahan iklim dan pemanasan global sedang melanda dunia. Namun, lembaga di AS berpendapat berbeda.

oleh Afra Augesti diperbarui 24 Nov 2018, 18:11 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2018, 18:11 WIB
Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Donald Trump tak percaya perubahan iklim dan pemanasan global sedang melanda dunia. Sang miliarder nyentrik menyebutnya sebagai hoaks belaka.

Namun, laporan terbaru National Climate Assessment justru berisi peringatan yang mengerikan tentang perubahan iklim dan dampaknya yang menghancurkan bagi Negeri Paman Sam.

Para ahli menyebut, perekonomian AS bisa kehilangan miliaran dolar. Atau dalam skenario terburuk, lebih dari 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) pada akhir abad ini.

Studi yang dimandatkan oleh pemerintah federal itu semestinya dikeluarkah pada Desember ini. Namun, Pemerintahan Donald Trump memutuskan untuk merilisnya pada Jumat 23 November 2018, pada saat banyak orang Amerika menikmati liburan akhir pekan yang panjang, disibukkan urusan keluarga hingga belanja.

David Easterling, direktur Unit Dukungan Teknis di Pusat nasional Informasi Lingkungan NOAA mengatakan, tak ada intervensi eksternal terkait laporan tersebut. Dia menegaskan, perubahan iklim berada pada level yang belum pernah dialami Bumi sebelumnya.

"Suhu rata-rata global jauh lebih tinggi dan meningkat lebih cepat daripada yang pernah dialami peradaban modern, dan tren pemanasan ini hanya dapat dijelaskan oleh aktivitas manusia," kata Easterling, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (24/11/2018).

Laporan Fourth National Climate Assessment tersebut disusun oleh tim yang terdiri dari 13 badan federal. Melibatkan sekitar 1.000 orang, termasuk 300 ilmuwan terkemuka -- yang setengahnya berada di luar pemerintahan.

Laporan anyar ini adalah volume kedua. Yang pertama dirilis pada November 2017 lalu, yang menyimpulkan bahwa "tak ada penjelasan alternatif yang meyakinkan" dari perubahan iklim saat ini, kecuali, aktivitas manusia, terutama emisi dan gas rumah kaca.

Temuan tersebut bertentangan dengan pesan yang terus-menerus Donald Trump yang menyebut bahwa perubahan iklim adalah hoaks.

Bahkan pada Rabu lalu, ia mencuit di akun Twitternya, "Apa yang terjadi dengan pemanasan global," kata dia, di tengah situasi ketika warga AS menghadapi Thanksgiving paling dingin selama satu abad.

Di sisi lain, para ilmuwan dan lembaga federal menjelaskan fenomena tersebut secara jelas: perubahan iklim tidak ditentukan cuaca ekstrem dalam satu hari atau sepekan, namun ditentukan oleh tren jangka panjang.

Dan faktanya, manusia saat ini hidup dengan suhu terhangat di sepanjang sejarah modern.

Bahkan jika skenario terbaik terjadi dan emisi gas rumah kaca turun hingga level nol, dunia berada di jalur menghangat 1,1 derajat Fahrenheit.

Apalagi, data membuktikan, tak ada satupun negara G20 yang mencapai target iklim. Tanpa upaya untuk mereduksi gas rumah kaca, suhu rata-rata global bisa bauk 9 derajat Fahrenheit (5 derajat Celcius) pada akhir Abad ini, dibandingkan dengan suhu pra-industri. 

 

Saksikan video terkait perubahan iklim berikut ini:

 

Harga Mahal yang Harus Dibayar AS

Kartu Pos Terbesar Pecahkan Rekor Dunia
Kartu pos raksasa terbuat lebih dari 125.000 kartu pos yang dikumpulkan untuk memecahkan Rekor Dunia Guinness di Jungfraufirn, Swiss, 16 November 2018. Kartu pos tersebut berisi pesan-pesan menentang perubahan iklim. (Valentin Flauraud/Keystone via AP)

Laporan tersebut menyebut, kerugian akibat perubahan iklim bisa mencapai ratusan miliar dolar per tahun.

Wilayah Amerika Tenggara (Southeast) saja mungkin akan kehilangan lebih dari setengah miliar jam kerja pada tahun 2100 karena panas yang ekstrem.

Petani akan menghadapi masa-masa yang sangat sulit. Kualitas dan kuantitas hasil panen akan menurun di seluruh negeri karena suhu yang lebih tinggi, kekeringan, dan banjir.

Di area Midwest, peternakan hanya bisa menghasilkan kurang dari 75% dari jagung yang bisa mereka panen hari ini. Dan bagian selatan dari wilayah itu bisa kehilangan lebih dari 25% hasil kedelai.

Stres akibat panas dapat memicu produksi susu rata-rata anjlok antara 0,60% dan 1,35% selama 12 tahun ke depan.

Sebagai perbandingan, industri peternakan mengalami rugi US$ 1,2 miliar akibat panas ekstrem pada tahun 2010.

Sektor perikanan juga akan terpukul, mengalami kerugian hingga US$ 230 juta pada akhir abad karena pengasaman laut, yang sudah membunuh kerang dan karang.

Red tides, atau algae bloom, yang menghabiskan oksigen di air dan dapat membunuh kehidupan laut, seperti yang memicu keadaan darurat di Florida pada bulan Agustus, akan menjadi lebih sering.

Temperatur yang lebih tinggi juga diperkirakan akan membunuh lebih banyak orang, kata laporan itu. Wilayah Midwes, yang diprediksi memiliki peningkatan terbesar suhu ekstrem, akan mengalami 2.000 kematian prematur per tahun pada tahun 2090.

Akan ada lebih banyak penyakit yang disebabkan oleh nyamuk seperti zika, demam berdarah dan chikungunya.

Belum lagi ancaman kebakaran. Api nisa membakar hingga enam kali lebih banyak kawasan hutan setiap tahun pada tahun 2050 di beberapa bagian Amerika Serikat.

Daerah yang terbakar di California Barat Daya saja bisa berlipat ganda pada tahun 2050.

Sementara, pasokan air bersih untuk Hawaii, Karibia dan lainnya terancam oleh peningkatan suhu ini. Belum lagi kerugian lain.

Meski demikian, Gedung Putih bergeming. Bahkan mengatakan bahwa laporan itu , yang disusun dengan bantuan dari berbagai badan dan departemen pemerintah AS, tidak akurat dan didasarkan pada skenario paling ekstrem.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya