Liputan6.com, Kinshasa - Menjelang pemilu Republik Demokratik Kongo (DRC), kericuhan dilaporkan terjadi di gudang milik komisi pemilihan umum (KPU) di Kinshasa. Api menghanguskan bangunan tersebut dan membinasakan ribuan mesin pemungut suara pada 13 Desember 2018 waktu setempat.
Insiden ini terjadi hanya 10 hari menjelang pemilu dan mamantik kekhawatiran bahwa jajak pendapat akan diemahkan dengan kurangnya logistik dan penipuan.
Barnabé Kikaya bin Karubi, seorang penasehat kepresidenan, menyalahkan pelaku yang identitasnya belum diketahui itu. Ulah penjahat tersebut membuat sekitar 7.000 dari 10.000 mesin pemungutan suara rusak.
Advertisement
Baca Juga
Meski terhalang oleh kendala itu, namun persiapan untuk pemilu Kongo yang akan diselenggarakan pada 23 Desember 2018, tetap dilanjutkan.
Kikaya mengatakan, polisi yang menjaga gudang KPU tersebut --yang terletak di daerah tepi Sungai Gombe-- telah dilumpuhkan oleh pelaku. Akan tetapi, para petugas enggan memberikan keterangan lebih lanjut tentang kejadian perusakan itu, bahkan mereka tidak mau menggambarkan ciri-ciri pelaku.
Para pendukung oposisi mengklaim, kebakaran itu sengaja dilakukan oleh pihak Joseph Kabila, pemimpin yang berkuasa sejak 2001, agar ia mendapatkan alasan untuk menunda pemilu.
"Kami sedang berada di bawah bayang-bayang rezim yang kriminal. Insiden ini jelas bukan kecelakaan, melainkan sebuah kesengajaan. Pelaku utamanya adalah rezim itu sendiri," tegas Valentin Mubake, mantan sekretaris jenderal partai oposisi Union for Democracy and Social Progress (UPDS), seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (14/12/2018).
Pemilu bulan ini adalah momentum penting yang memiliki risiko tinggi untuk semua kandidat, partai dan Republik Demokratik Kongo.
Kabila menolak untuk meninggalkan kursi jabatannya pada akhir mandat kedua, tahun 2016, dan enggan mengikuti pilpres tahun ini. Konstitusi yang berlaku di Kongo telah menyetujui pembatasan jabatan presiden yang hendak memerintah selama dua periode berturut-turut.
Sementara itu, mantan menteri dalam negeri dan seorang loyalis Kabila, Emmanuel Ramazani Shadary, akan menjadi wakil dari koalisi yang berkuasa.
Seorang juru bicara Shadary, Aimé Kilolo-Musamba, menolak tuduhan bahwa Shadary telah dipilih oleh Kabila untuk menjaga kedudukannya agar 'tetap hangat', seperti yang dituduhkan oleh tokoh-tokoh oposisi.
"Shadary adalah sosok yang sangat berbeda dengan kepribadian yang lain pula. Ia memiliki banyak pengalaman dalam pemerintahan, dan terpilih sebagai kandidat melalui konsultasi demokrasi yang luas," kata Kilolo-Musamba.
Di satu sisi, Shadary masih berada di bawah sanksi Uni Eropa karena keterlibatannya dalam bentrokan berdarah terhadap aktivis oposisi pada tahun lalu.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kata KPU Kongo...
Sementara itu, pihak oposisi khawatir bahwa mesin-mesin pemungutan suara baru itu tidak praktis digunakan di Kongo, negara dengan infrastruktur transportasi dan listrik yang terbatas. Peristiwa tersebut juga bisa membuka jalan bagi aksi tipu-tipu pemilih.
Corneille Nangaa, kepala KPU Kongo menjelaskan, sebanyak 100.000 mesin akan didistribusikan di seluruh negeri. Dengan adanya teknologi ini, anggaran negara untuk pemilu jadi ringan dan penghitungan suara akan lebih cepat.
Empat tahun lalu, Namibia menjadi negara pertama di Afrika yang menggunakan mesin pemilihan elektronik dalam pemilihan nasional. Tetapi, Nambia hanya memiliki 1,2 juta pemilih terdaftar, jumlah yang lebih sedikit bila dibandingkan Kongo yang punya 46 juta.
Analis dan aktivis telah memperingatkan bahwa jika pemilu dianggap sebagai penipuan, negara itu bisa menghadapi demonstrasi bertahun-tahun.
Advertisement