5 Kisah Orang Kaya di Dunia yang Berhasil Lolos dari Jerat Kasus Kriminal

Inilah kisah tentang orang-orang kaya di dunia yang meski menjadi tersangka kasus pembunuhan namun tak dijerat hukuman setimpal.

oleh Afra Augesti diperbarui 10 Jan 2019, 18:35 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2019, 18:35 WIB
Orang kaya
ilustrasi/copyrigth pixabay.com/rawpixel

Liputan6.com, Missouri - Bagi kebanyakan orang, individu yang memiliki kekayaan dalam jumlah melimpah bisa melakukan apa saja yang ia mau. Sebagian orang berpendapat bahwa orang kaya bahkan bisa lolos dari jerat hukum, hanya dengan membayar sejumlah duit kepada institusi tersebut.

Pemikiran seperti itu sudah lama tertanam di benak sejumlah orang. Sedangkan fakta lain menyebut bahwa orang kaya dan berkuasa yang bisa lolos dari kasus kejahatan, biasanya justru membuat orang yang melaporkannya dipenjara.

Berikut ini 4 kisah tentang orang kaya yang lolos dari kasus kriminal yang begitu mengerikan, seperti dikutip dari Top Tenz, Kamis (10/1/2019).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

1. Issei Sagawa - Kanibal Konglomerat Jepang dengan Gelar PhD

20160206-Ilustrasi-Pembunuhan-iStockphoto
Ilustrasi Pembunuhan dengan Senjata Tajam (iStockphoto)

Pada Juni 1981, ketika Issei Sagawa belajar sastra di Sorbonne Academy di Paris, polisi Prancis menangkapnya atas dugaan kasus pembunuhan Renee Hartevelt, seorang mahasiswa Belanda berusia 25 tahun.

Dalam berita yang mengejutkan Jepang, anak tunggal dari salah satu konglomerat di Negeri Sakura itu mengaku telah memakan tubuh Hartevelt, sebagian di antaranya ditelan mentah dan sebagian lagi ia masak dengan bumbu.

Pengadilan Prancis akhirnya memutuskan untuk tidak menuntut Sagawa atas pembunuhan tersebut, karena kondisi mentalnya yang dinilai amat lemah.

Pada tahun 1984, ia akhirnya dideportasi ke Jepang. Sunday Mainichi memberikan liputan terperinci dalam terbitan 10 Juni 1984 dengan judul "Seventeen hours together with the man who ate the flesh of a beautiful woman", yang didasarkan pada transkrip perbincangan antara Sagawa dan sang wartawan selama penerbangan dari Paris ke Bandara Narita.

Saat ini, Sagawa yang merupakan kelahiran 26 April 1949, tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil (1LDK) di Kota Kawasaki. Pada November 2013, ia menderita pendarahan otak dan membutuhkan bantuan darurat, yang kemudian diberikan oleh pengasuh atau saudara laki-lakinya.

Kala itu, Sagawa menceritakan bagaimana ia pertama kali berkenalan dengan Renee di Paris pada bulan Mei 1981. Pada tanggal 1 Juni, ia mengundang Renee ke apartemennya, di mana ia memasakkan sukiyaki untuk Renee. Pembunuhan itu terjadi di tempat yang sama 10 hari kemudian.

Menurut liputan Sunday Mainichi terbitan 5 Juli 1981, Sagawa ingin melamar Rene --yang kemudian ditolak-- karena dia sudah berkomitmen pada orang lain. Sagawa kemudian mengatakan kepada polisi bahwa ia mengambil senapan kaliber kecil yang ia simpan di laci lemari untuk perlindungan diri.

Tanpa pikir dua kali, Sagawa langsung menembak wanita malang itu dari belakang. Renee pun tewas seketika dengan luka tembak di kepala.

Sagawa telah menyembunyikan kelainan seksualnya sejak kecil, di mana ia belajar tentang kanibalisme dari dongeng. Ketika ia menyadari keinginannya untuk mengkonsumsi daging manusia, Sagawa tidak pernah berkonsultasi dengan psikiater.

Pada tahun 1972, sebelum pergi belajar di Paris, Sagawa didakwa melakukan percobaan pemerkosaan karena menerobos masuk ke apartemen seorang wanita Jerman di Tokyo. Namun, motifnya bukan karena seks.

"Jika saya menjalani terapi sejak saat itu, saya kira insiden di Paris mungkin tidak akan terjadi," kata Sagawa kepada Sunday Mainichi.

Hingga saat ini Sagawa tidak pernah menerima hukuman penjara atas seluruh kasus yang menjeratnya. Sang orangtua yang kaya raya terus mendukungnya secara finansial, dan dia bahkan sekarang menulis buku tentang kanibalismenya serta kisah hidupnya.

2. Sao Boonwaat - Diplomat Myanmar yang Membunuh Istrinya Sendiri

Ilustrasi Pembunuhan (iStock)
Ilustrasi Pembunuhan (iStock)

Pada tahun 1967, Sao Boonwaat, seorang diplomat Burma (Myanmar sekarang), membunuh istrinya setelah mengetahui bahwa sang bini berselingkuh. Boonwaat adalah seorang duta besar di Sri Lanka (dahulu Ceylon).

Ia menembak sang istri dan menutupi kejahatannya dengan kembali ke Burma, sebelum bisa digiring ke pengadilan. Dia menghabiskan sisa hari-harinya sebagai individu yang bebas, berkat penyalahgunaan status diplomatiknya yang "kebal hukum".

Pejabat Burma mengambil alih penyelidikan untuk kasus kejahatan Boonwaat, tetapi tidak ada catatan persidangannya, dan pejabat Ceylon tidak diizinkan untuk ikut campur di dalamnya.

Laporan sejumlah saksi pun bervariasi, tetapi satu hal yang pasti: sesuatu yang mengkhawatirkan terjadi di rumah Boonwaat pada hari kematian Shirley, dan tubuh Shirley dibuang dengan begitu cepat sehingga dokter bahkan tidak dapat menentukan apa yang menyebabkan kematian sosialita itu.

Menurut para pria yang bekerja di dekat rumah Boonwaat pada 15 Oktober 1967, keluarga Boonwaat sedang berada di luar rumah, di kebun, ketika para pekerja melihat Sao Boonwaat berjalan ke arah istrinya dengan membawa senjata. 

Shirley Boonwaat, yang mungkin baru saja pulang dari kencan bersama kekasih gelapnya, kemudian berlari menuju mobil dan berusaha kabur dari cengeraman Sao. Namun sayang, semuanya terlambat. 

Para pekerja, yang sudah mendengar satu tembakan, hanya bisa menonton adegan pembunuhan sadis itu dan menyaksikan Sao menembak istrinya beberapa kali.

Beberapa jam setelah kematian istrinya, Boonwaat memanggil seorang pengurus barang, Morris Raymond, dan memesan sebuah peti mati. Raymond tidak bisa mengukur secara pasti ukuran peti mati itu. Dia hanya diberi tahu ukuran tubuh Shirley oleh suaminya, yang menolak pemeriksaan postmortem. Tubuh Shirley dengan cepat dikremasi.

Catatan sejarah lain mengatakan, polisi tiba di rumah Boonwaat atas telepon seorang pria. Otoritas kemudian menahan Sao Boonwaat. Namun, Boonwaat malah meminta kekebalan diplomatik dan dibebaskan. Boonwaat tidak ditahan sama sekali.

Keesokan harinya, beberapa pejabat senior dari Burma dikirim ke Ceylon untuk "menarik" Boonwaat. Mereka tiba di Kolombo seminggu setelah kematian Shirley, diberi pengarahan oleh polisi setempat tentang penyelidikan mereka, dan membawa Boonwaat kembali ke Burma beberapa minggu setelah kematian istrinya.

Meski demikian, Boonwaat tidak pernah menghadapi persidangan atas tuduhan kejahatan tersebut.

3. Orachorn Thephasadin Na Ayudhya - Mengemudi Tanpa SIM

Kecelakaan Lalu Lintas dan Kecelakaan Mobil
Ilustrasi Foto Kecelakaan Mobil (iStockphoto)

Pada 2010, seorang gadis 17 tahun bernama Orachorn Thephasadin Na Ayudhya mengendarai salah satu mobil ayahnya tanpa SIM. Saat mengemudi, dia melakukan kesalahan degan mengirim sms dan bermain ponsel.

Karena itulah, dia akhirnya menabrak sebuah van berisi penumpang yang membawa 14 orang. Sebanyak 9 orang tewas seketika gara-gara keteledoran remaja asal Thailand itu.

Kemacetan pun mengular di jalan raya akibat insiden maut tersebut. Anehnya, Na Ayudhya justru seperti tak merasa bersalah dan tidak terluka. Beberapa detik pascatabrakan, dia keluar dari mobil, menjatuhkan dompetnya ke tanah, dan terus menatap layar ponselnya.

Seseorang mengambil fotonya pada saat itu, dan begitu diedarkan di media, publik menjadi geram.

Orangtuanya yang kaya membayar pengacara, dan entah bagaimana, pengadilan hanya menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara karena mengemudi tanpa lisensi. Na Ayudhya juga dikenai hukuman wajib lapor selama beberapa bulan. Ia pun diminta menjadi pelayan masyarakat sebagai hukuman tambahan.

Meskipun begitu, dia adalah perempuan muda yang manja, sehingga dia sering menolak untuk menjalankan tugasnya dengan menjadi sukarelawan di rumah sakit, dan mengeluh sepanjang waktu.

4. Ethan Couch

Ilustrasi Pembunuhan (iStock)
Ilustrasi Pembunuhan (iStock)

Pada 2013, seorang anak berusia 16 tahun bernama Ethan Couch mencuri bir dan mengemudi dalam keadaan mabuk bersama teman-temannya. Karena ulahnya, empat orang pejalan kaki yang sedang melangkah di trotoar di Fort Worth, Texas, tewas seketika. Sedangkan kawan-kawannya sekarang hidup dengan kerusakan otak yang parah.

Di pengadilan, orangtua Ethan membayar pengacara kondang yang mampu meyakinkan seluruh juri bahwa bocah itu menderita "affluenza" --sindrom psikologis yang dibuat-buat, di mana seseorang bisa merasa begitu kaya, manja, dan istimewa sehingga mereka tidak bisa memahami konsekuensi dari kenyataan.

Imbasnya, Ethan hanya diperintahkan untuk pergi ke rehabilitasi, bukannya dijebloskan ke penjara. Orangtua Couch adalah jutawan, dan mereka sering meninggalkannya sendirian di rumah. Akibatnya, Ethan kerap mengadakan pesta pora di tempat tinggalnya tanpa pengawasan bapak dan ibunya.

Ethan Couch menolak untuk menghabiskan waktunya di rehabilitasi, dan terus melanggar pembebasan bersyaratnya. Ketika dia berusia 19 tahun, dia mencoba lari ke Meksiko. Dia menghabiskan dua tahun di penjara, tetapi dia sekarang kembali bebas untuk kesekian kalinya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya