Ini 3 Petunjuk Kemiripan dalam Kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air

Berikut beberapa kesamaan awal dari segi teknis dalam kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Mar 2019, 16:01 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2019, 16:01 WIB
Pesawat Ethiopian Airlines (AFP/Jenny Vaughan)
Pesawat Ethiopian Airlines (AFP/Jenny Vaughan)

Liputan6.com, Jakarta - Kemiripan antara kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302 dan Lion Air JT 610 terus bertambah seiring temuan bukti-bukti baru dari lokasi kecelakan pesawat yang terjadi pekan lalu. Tak hanya bahwa keduanya menggunakan pesawat Boeing 737 MAX 8. 

Menurut sejumlah laporan, para penyelidik kecelakaan Ethiopian Airlines menemukan bukti kesamaan tersebut, yang bersumber dari kotak hitam dan aspek-aspek lain di lokasi jatuhnya pesawat, di sebuah ladang dekat Desa Tulu Fara di luar kota Bishoftu, 40 mil di tenggara ibukota Ethiopia.

Meski banyak pakar penerbangan mengatakan bahwa terlalu dini untuk menyatakan bahwa kecelakaan ET 302 dan JT 610 adalah sama, namun, kemiripan awal yang muncul tak bisa terhindarkan.

Penyelidik Ethiopia kini telah mengirim kotak hitam ke Paris untuk dianalisis dan otoritas di Addis Abbaba telah memperingatkan bahwa penyelidikan yang menyeluruh untuk menghasilkan kesimpulan yang utuh membutuhkan waktu yang lama.

Berikut beberapa kesamaan awal dari segi teknis dalam kecelakaan Ethiopian Airlines dan Lion Air, seperti dikutip dari berbagai sumber, Senin (18/3/2019).

 

Simak video pilihan berikut:

1. Permasalahan pada MCAS

Ethiopian Airlines. Foto:AFP/ISSOUF SANOGO
Ethiopian Airlines. Foto:AFP/ISSOUF SANOGO

Penyelidikan ET 302 dan JT 610 sama-sama masih dalam tahap awal, tetapi bukti baru berpotensi menunjukkan bahwa kedua pesawat keduanya memiliki masalah dengan sistem otomatis yang baru dipasang, Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) atau Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, demikian dilaporkan The New York Times.

MCAS adalah sistem anti-stalling otomatis Boeing 737 MAX yang dirancang untuk menjaga pesawat agar tidak berada dalam kondisi stall. Baik ET 302 dan JT 610 yang sama-sama terbang dengan Boeing MAX 737.

Boeing merancang mesin MAX lebih besar dan dipasang lebih jauh ke depan pada sayapnya, sebuah konfigurasi yang dapat mendorong hidung ke atas menuju sebuah kondisi stall dalam keadaan tertentu.

Untuk mengimbangi itu, Boeing memasang MCAS untuk secara otomatis mendorong hidung ke bawah untuk menangkal kekuatan-kekuatan yang menyebabkan stall, dengan harapan membuat 737 MAX lebih aman.

Tetapi dua kecelakaan dalam beberapa bulan terakhir mengkhawatirkan tanda-tanda bahwa sistem MCAS itu bisa memiliki risiko yang tidak terduga.

Dalam kasus penerbangan Ethiopian Airlines yang jatuh, penyelidik di lokasi kecelakaan secara khusus melihat peralatan yang dikenal sebagai jackscrew, yang mengontrol sudut stabilisator horisontal. Stabilisator bisa dimiringkan karena alasan lain, tetapi mereka dapat dipicu oleh MCAS.

Dan dalam kecelakaan Lion Air, para penyelidik juga memeriksa apakah MCAS memicu pergulatan antara sistem kontrol penerbangan baru dan pilot.

"Sistem otomatis (MCAS), yang mungkin telah mendorong hidung pesawat dalam kecelakaan Lion Air, menjadi aktif jika hanya satu dari dua sensor yang dipasang di bagian luar pesawat mengatakan hidung pesawat terlalu tinggi. Itu berarti satu sensor yang tidak berfungsi dapat memaksa pesawat ke arah yang salah, seperti yang telah diteorikan dalam kecelakaan Lion Air," The Times melaporkan.

Boeing dan Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) mengatakan bahwa mereka terus mendukung keselamatan pesawat 737 MAX. Meski begitu, perusahaan berusaha untuk menyelesaikan pembaruan perangkat lunak dan mendorongnya pada bulan April yang akan memodifikasi fitur jet di sekitar sistem otomatis MCAS.

2. Stabilisator

Lokasi jatuhnya maskapai Ethiopian Airlines (AFP)
Lokasi jatuhnya maskapai Ethiopian Airlines (AFP)

Menurut sebuah laporan The New York Times, para penyelidik di lokasi kecelakaan penerbangan Ethiopian Airlines yang menewaskan 157 orang, menemukan bukti yang menunjukkan bahwa stabilisator pesawat dimiringkan ke atas.

Pada sudut itu, stabilisator otomatis akan memaksa hidung jet melakukan nosedive, mirip dengan pesawat Lion Air yang menabrak Laut Jawa 12 - 13 menit setelah lepas landas, menewaskan semua 189 penumpang dan awak, The New York Times melaporkan, seperti dikutip dari Vox, Minggu (17/3/2019).

3. Jatuh di Menit-Menit Awal Usai Take-Off

Hal gawat terjadi pada penerbangan ET 302 tak lama setelah roda pesawat ditarik masuk usai take-off.

Situs pemantau penerbangan komersial, FlightRadar24 mencatat ada yang tak beres dengan Boeing 737 MAX 8 itu di menit-menit krusial atau yang disebut 'Critical Eleven'.

Disebut juga, Critical 11 Minutes, istilah itu merujuk pada tiga menit pertama setelah lepas landas (take off) dan delapan menit sebelum pendaratan (landing).

Seperti dikutip dari situs flightsafety.org, saat itu awak kabin dilarang berkomunikasi dengan kokpit kecuali terkait masalah keselamatan penerbangan dan penumpang. Di sisi lain, para pilot di kokpit dilarang melakukan aktivitas yang tak ada hubungannya dengan mengendalikan pesawat.

"Data dari jaringan ADS-B Flightradar24 menunjukkan bahwa kecepatan vertikal pesawat tidak stabil setelah lepas landas," demikian menurut FlightRadar24 yang bermarkas di Swedia dalam akun Twitter-nya, seperti dikutip dari CNN, Senin (11/3/2019).

Fluktuasinya liar. Dalam tiga menit pertama penerbangan, kecepatan vertikal bervariasi dari nol kaki per menit, menjadi 1.472 kaki/menit, bahkan sempat (minus) -1.920. Ketinggian terakhir pesawat mencapai 8.600 kaki atau 2.600 meter sebelum terjun bebas.

Ketinggian minus dimungkinkan, sebab titik nol yakni Bandara Bole, berada di ketinggian ‎7.625 kaki atau 2.334 meter di atas permukaan laut.

Kapal terbang itu berjuang keras untuk naik dengan kecepatan stabil. Namun gagal. "Selama lepas landas, penerbang pasti mengharapkan indikasi kecepatan vertikal positif yang berkelanjutan," kata Ian Petchenik, juru bicara FlightRadar24 seperti dikutip dari New York Times.

Sang pilot, Kapten Yared Getachew kemudian mengirimkan panggilan darurat (distress call) kepada pemandu lalu lintas udara atau air traffic controller (ATC). Ia meminta izin untuk kembali ke Addis Ababa. Permintaan diterima. Namun, kapal terbang itu tak pernah balik kanan.

Pada pukul 08.44, Ethiopian Airlines Penerbangan ET 302 hilang kontak dengan ATC, hanya enam menit setelah mengudara.

Kecelakaan yang menimpa Ethiopian Airlines membuat keselamatan Boeing 737 MAX 8 dipertanyakan.

Apalagi kurang dari enam bulan sebelumnya, pesawat serupa yang digunakan dalam penerbangan Lion Air JT 610 celaka di Laut Jawa pada Oktober 2018, 13 menit setelah lepas landas dari Jakarta menuju Pangkalpinang. Sebanyak 189 meninggal dunia saat itu.

Kecelakaan Lion Air juga terjadi beberapa saat setelah take off dan pasca-pilot meminta izin kembali ke bandara awal.

Dua kecelakaan yang menimpa Ethiopian Airlines membuat keselamatan Boeing 737 MAX 8 dipertanyakan.

Apalagi kurang dari enam bulan sebelumnya, pesawat serupa yang digunakan dalam penerbangan Lion Air JT 610 celaka di Laut Jawa pada Oktober 2018, 13 menit setelah lepas landas dari Jakarta menuju Pangkalpinang. Sebanyak 189 meninggal dunia saat itu.

Kecelakaan Lion Air juga terjadi beberapa saat setelah take off dan pasca-pilot meminta izin kembali ke bandara awal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya