Liputan6.com, Zarzis - Lebih dari 80 orang dikhawatirkan tewas setelah sebuah kapal terbalik di lepas pantai Tunisia.
Menurut lembaga PBB untuk isu migrasi, perahu nahas tersebut berisikan para imigran yang berusaha mencapai pantai Eropa melalui Libya, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Jumat (5/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Kapal itu tenggelam pada hari Rabu di lepas kota pelabuhan Zarzis, dan 82 imigran di dalamnya telah dinyatakan hilang, kata Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Nelayan setempat berhasil menarik empat orang pria dari kapal yang tenggelam, kata Lorena Lando, kepala agen terkait di Tunisia. salah satunya kemudian meninggal di rumah sakit.
Sebuah sumber pemerintah mengatakan para korban, yang diselamatkan sejauh sembilan mil (sekitar 14,5 kilometer) dari Zarzis, memberi tahu penjaga pantai bahwa mereka telah berangkat dari Libya, dan bahwa puluhan rekannya sesama imigran tenggelam tanpa jejak.
Flavio Di Giacomo, juru bicara IOM, mengetwit: "Dibutuhkan lebih banyak pembaruan untuk mengkonfirmasi apa yang terjadi dan jumlah aktual korban yang hilang."
Penyelundupan Via Pantai Barat Libya
Setidaknya 65 orang yang menuju Eropa dari Libya tenggelam Mei lalu ketika kapal mereka terbalik di lepas pantai Tunisia.
Pantai barat Libya adalah titik keberangkatan utama bagi para imigran Afrika yang berharap mencapai Eropa dengan bantuan penyelundup manusia, meskipun jumlahnya menurun karena upaya penghalauan tegas yang dipimpin Italia.
Meskipun pertempuran di Libya telah membuat situasi lebih sulit bagi mereka yang terlibat dalam jaring perdagangan orang, para pejabat bantuan internasional telah memperingatkan bahwa hal tersebut juga dapat mendorong warga Libya untuk melarikan diri dari negara itu.
Advertisement
Serangan Udara Menyasar Kamp Detensi Libya
Sementara itu, pada hari Rabu, terjadi serangan udara yang menyasar sebuah kamp detensi di Libya, yang menewaskan setidaknya 53 orang.
Sebagian besar korban tewas merupakan para imigran yang ditahan oleh pemerintah Libya.
Dilaporkan bahwa petugas penjaga kamp detensi menembak beberapa tahanan yang berusaha melarikan diri dari serangan itu.
PBB dan kelompok-kelompok bantuan menyalahkan kematian akibat serangan udara itu, sebagian karena kebijakan Uni Eropa bermitra dengan milisi Libya, untuk mencegah orang-orang menyeberangi Mediterania menuju Benua Biru