Bukan Omong Kosong, Arsitek Indonesia Mendesain Kapal Selam Pembeku Es Kutub Utara

Sebuah tim arsitek Indonesia memenangkan juara 2 di ajang kompetisi internasional Association of Siamese Architects.

oleh Afra Augesti diperbarui 04 Sep 2019, 18:05 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2019, 18:05 WIB
Ilustrasi kutub utara (AFP/Tore Meek)
Ilustrasi kutub utara (AFP/Tore Meek)

Liputan6.com, Bangkok - Faris Rajak Kotahatuhaha, seorang arsitek berkewarganegaraan Indonesia, menjadi pemenang kedua lomba desain internasional dengan tema sains.

Ia bersama timnya yang juga WNI, Denny Lesmana Budi dan Fiera Alifa, membawa harum nama bangsa di "ASA International Design Competition" di Bangkok, Thailand, pada Mei 2019.

Ini bukan ajang kompetisi bodong. Ini adalah ajang kompetisi global yang digelar oleh The Association of Siamese Architects (ASA), sebuah organisasi non-pemerintah beranggotakan arsitek Thailand yang bekerja di luar negeri, lulusan arsitektur, siswa arsitektur, guru arsitektur dan pensiunan arsitek. 

Tahun ini, ASA mengambil tema sustainability atau "berkelanjutan", menciptakan arsitektur ramah lingkungan yang tidak lagi berpusat pada manusia, melainkan juga didedikasikan untuk kesejahteraan semua makhluk hidup di Bumi.

"Arsitektur berkelanjutan mampu mengambil langkah besar dalam meminimalkan konsumsi energi dan sumber daya lainnya, tetapi tantangan besar tetap ada dan menuntut tanggapan yang berani," tulis situs tersebut asacompetition.com, yang dikutip Liputan6.com pada Rabu (4/9/2019).

Namun, bukan tentang ASA yang akan kami bahas. Ini tentang karya tiga arsitektur muda Tanah Air yang unjuk gigi di luar negeri, khususnya ASEAN, dan tidak ada media lokal yang menyorotnya.

Buah karya Faris dan kawan-kawan justru diangkat oleh media-media mainstream dan sains internasional, seperti CNN, Science Alert, IFL Science, Forbes, NBC News, Business Insider, Daily Mail, The Sun dan lain-lain.

Faris tidak mengirimkan rilis kepada wartawan-wartawan tersebut, melainkan mereka sendiri yang berinisiatif untuk menghubungi langsung ke Faris. 

Faris, sebagai leader, memilih judul "Re-freeze the Arctic, Re-iceberg-isation Hexagonal Tubular Ice Arctic". Inilah yang membawa dia dan timnya melenggang di urutan kedua di "ASA International Design Competition".

Banyak jurnalis sains yang menyoroti ide desain Faris karena dianggap futuristik dan inovatif. Selain itu, visinya masih berkaitan dengan perubahan iklim, tentang: kapal selam yang bisa merubah es yang mencair di Kutub Utara, untuk kembali beku lagi.

Pakai Data NASA

NASA
Kutub Utara. (NASA)

Kepada Liputan6.com, lulusan Universitas Islam Indonesia itu menjelaskan melalui sambungan telepon pada Rabu (4/9/2019), latar belakang penciptaan karyanya berawal dari isu 'terpanas' saat ini: melelehnya es-es di Kutub Utara dengan cepat gara-gara perubahan iklim. 

"Dapat ide dari riset kenaikan permukaan laut global, yang salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim dan menyebabkan banyak es mencair. Kita juga sempat riset soal level rising (kenaikan air laut global) itu pakai data dari NASA," ungkap Faris.

Ia dan tim melakukan penelitian terlebih dahulu selama kuartal terakhir 2018, sebelum mengirimkan karya mereka melalui situs asacompetition.com pada April tahun ini.

Sebagaimana dilaporkan oleh banyak ilmuwan dunia, tak terkecuali NASA, Samudera Arktik telah kehilangan 95 persen esnya selama tiga dekade terakhir.

Pencairan ekstrem ini, yang dipicu oleh perubahan iklim, membuat rantai makanan di kawasan Kutub Utara berada dalam ujung tanduk. Jumlah anjing laut, ikan, serigala, rubah, dan beruang kutub menyusut drastis lantaran banyak yang mati kelaparan.

Terinspirasi oleh manfaat reboisasi (penanaman kembali hutan yang gundul), Faris dan rekan-rekannya berpikir bahwa kapal selam prototipe yang mereka rancang mungkin dapat membantu menyelamatkan es-es di Arktika, yang mereka sebut sebagai re-iceberg-isation.

 

 

Cara Kerja Kapal

Rusa Kutub di Norwegia
Seekor rusa kutub Svalbard tertangkap kamera peneliti sedang mengunyah rumput laut di kawasan Arktik utara. (Norges Teknisk-Naturvitenskaplige Universitet)

Menurut Faris, kapal itu bekerja dengan membekukan kembali air laut Arktika menjadi gunung es berbentuk segi enam, dengan masing-masing ukuran sekitar 2.027 meter kubik (535.477 galon), yang pada akhirnya akan disatukan oleh kapal tersebut untuk membentuk gundukan es baru.

"Kapal selam, pertama, terapung. Lalu menenggelamkan diri untuk mengumpulkan air laut dalam sebuah tangki berbentuk segi enam," papar Faris kepada Liputan6.com.

Karya Faris Rajak Kotahatuhaha yang memenangkan juara dua di ajang

"Selanjutnya, sebagian garam yang terkandung dalam air laut akan diekstraksi menggunakan sistem reverse (memutarbalikkan) osmosis (gerakan melarutkan untuk merubah sesuatu menjadi bagian lain dengan mengonsentrasi melekul yang lebih tinggi). Proses ini bakal membuat air laut lebih mudah membeku."

Melalui penggunaan turbin udara yang ada di kapal, air laut yang tersisa kemudian akan dibekukan menjadi gunung es berbentuk segi enam dan dilepaskan kembali ke laut setelah sebulan berada di dalam kapal.

Karya Faris Rajak Kotahatuhaha yang memenangkan juara dua di ajang

"Nanti, kapal akan mendorong es-es itu untuk ditempelkan satu sama lain. Makanya bagian depan kapal berbentuk seperti segi enam yang dibelah sama sisi," lanjut Faris.

Pemilihan bentuk segi enam pun diperhitungkan oleh Faris. "Pertama, karena molekul air dasarnya berbentuk segi enam. Kedua, dari segi desain, segi enam tidak akan memiliki spasi ketika digabungkan, tidak seperti lingkaran yang masih punya celah saat disatukan."

Faris berharap, gagasan dia dan tim tidak hanya bisa menghentikan perubahan iklim atau mengurangi emisi gas rumah kaca, melainkan juga mampu memproduksi kembali es laut yang mencair, sehingga menyelaraskan ekosistem di Kutub Utara.

 

Banyak yang Memuji, Tak Sedikit Pula yang Mengkritik

Sambil Dansa, Obama Peringatkan Dunia tentang Perubahan Iklim
Citra satelit NASA mengenai kondisi Es di Artik, Kutub Utara (climatecordered.org)

Walaupun ide Faris dan rekan-rekannya dianggap penting dan masuk akal, namun ia mengakui masih banyak pihak yang mengkritik dan menanyakan tentang kelayakan kapal selam pembuat baby ice tersebut --nama yang dibuat oleh Faris dan rekan untuk es-es baru yang dicetak segi enam.

"Kita masih dikritik juga, kok. Kita terima sekali, karena fokus kita, kan, sebenarnya ke pemikiran inovasi, soalnya kita adalah arsitek," aku Faris.

Namun, hal tersebut tampaknya tak membuatnya patah arang. Ia mengklaim, banyak undangan kolaborasi yang masuk ke emailnya untuk menawarkan kerja sama, baik itu fisikawan hingga ilmuwan. Sehingga masing-masing sektor bisa mengembangkan disiplin mereka.

"Mereka tanya, kalau dilanjutin, (kapal) visible atau tidak. Misalnya, energinnya apa, bahan bakarnya apa, sistem pembekuan esnya bagaimana. Kita masih mencari bahan pembuat kapal selam dan juga energi yang akan digunakan," kata Faris.

Menurut para peneliti senior yang dijumpai Faris dan teman-teman selama ajang itu, skala proyek ini harus berada dalam skala besar. Sedangkan Faris pun belum memikirkan besaran biaya yang harus direncanakan untuk memproduksi satu kapal.

Selain itu, menurut Science Alert, es laut yang meleleh tidak berkontribusi pada kenaikan permukaan laut. Gunung-gunung es ini, bagaimanapun, memang sudah mengambang di laut jauh sebelum ada daratan.

Ancaman sebenarnya adalah dari pencairan es tanah yang mengalir ke laut. Masih kata Science Alert, walaupun benar bahwa gunung es di laut dapat membantu menaungi perairan lautan, yang memantulkan sebagian energi matahari dan menghalangi penyerapan panas di Bumi, es-es baru ini harus sanggup menutupi sebagian besar samudera kutub.

Di satu sisi, ilmuwan atmosfer Michael Mann mengatakan kepada NBC News bahwa Faris seperti memberikan angin segar di tengah krisis iklim yang meradang saat ini. "Usulannya seperti mencoba menyelamatkan istana pasir yang Anda bangun di pantai menggunakan cangkir dixie, saat air pasang datang."

Jika sumber energi pada kapal-kapal rancangan Faris nantinya tidak memperhatikan nasib lingkungan dan tidak mengaplikasikan energi terbarukan, maka keberadaan mesin tersebut hanya akan menambah emisi global.

"Semoga nanti ilmuwan dan fisikawan yang mengajak kami berkolaborasi, bisa melakukannya. Ini sudah masuk ranah mereka, kami hanya menyediakan desain sebagai arsitek," pungkas Faris.

Simak rangkuman video tentang kapal selam pembeku es Kutub Utara di bawah ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya