Liputan6.com, Hong Kong - Pemerintah Hong Kong akan mengumumkan undang-undang baru pada Jumat besok, yang melarang penggunaan masker saat unjuk rasa, kata sebuah sumber kepada South China Morning Post, yang dikutip pada Kamis (3/10/2019).
Para pejabat berencana untuk menerapkan aturan tersebut di bawah undang-undang darurat era kolonial, sebagai upaya untuk mengakhiri kekerasan di jalan selama protes anti-pemerintah yang telah berlangsung selama hampir empat bulan.
Kepala Eksekutif Carrie Lam dikabarkan akan mengadakan pertemuan khusus kabinet de facto-nya, Executive Council, untuk memberlakukan undang-undang itu. Sedangkan legislatif hanya bisa mengubah atau mencabut legislasi setelah implementasi.
Advertisement
Baca Juga
Jika disetujui, undang-undang baru akan berlaku dalam waktu singkat, kata satu sumber. Ia menambahkan: "Tidak ada gunanya menunggu sampai minggu depan."
Emergency Regulations Ordinance era kolonial diperkenalkan pada 1922, memberikan wewenang kepada pemimpin kota untuk membuat peraturan apa pun yang menurutnya berguna untuk kepentingan khalayak, jika sifatnya darurat atau membahayakan publik.
Demonstran anti-pemerintah yang bertopeng disebut menodai perayaan Hari Nasional China pada Selasa kemarin, dengan merusak fasilitas umum di seluruh Hong Kong.
Keributan itu mendorong polisi menembakkan peluru tajam ke arah massa, bahkan ada seorang siswa yang terkena di dadanya. Dua ratus enam puluh sembilan (269) orang diringkus karena diklaim memiliki banyak pelanggaran, termasuk kerusuhan.
Sumber itu mengatakan, kekerasan pada 1 Oktober membuat undang-undang anti-topeng menjadi masalah mendesak. "Kami tidak bisa menunggu Dewan Legislatif, yang akan bertemu paling awal pada 16 Oktober," katanya.
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Carrie Lam Ditekan
Sejak Selasa, Carrie Lam menghadapi tekanan untuk segera menjalankan peraturan tersebut.
Dua partai pro-Beijing terbesar di Hong Kong, Democratic Alliance for the Betterment and Progress of Hong Kong (DAB), dan Federation of Trade Unions (FTU), menerbitkan pernyataan yang mendesak Lam untuk mengadopsi langkah-langkah di bawah peraturan itu demi memperbaiki kerusuhan yang semakin meningkat.
DAB mengusulkan pelarangan warga Hong Kong untuk mengenakan masker selama demo, yang merupakan timdakan melanggar hukum.
Sementara mereka yang mengambil bagian dalam protes yang sah, atau mereka yang perlu memakai topeng dengan alasan agama atau kesehatan, harus dibebaskan berdasarkan hukum yang berlaku.
Melalui keterangan yang dirilis pada Rabu, Junior Police Officers’ Association (JPOA) mendesak pemerintah untuk mengadopsi langkah-langkah di bawah Emergency Regulations Ordinance, atau memberlakukan jam malam di bawah Public Order Ordinance.
Pada Kamis, ketua JPOA Lam Chi-wai, mengatakan ia mendukung undang-undang anti-masker karena akan memberikan petugas pembenaran hukum untuk menangani pengunjuk rasa bertopeng, meskipun itu bisa menantang.
"Sama seperti perintah yang diberlakukan di Bandara Internasional Hong Kong dan MTR, UU itu memberi polisi landasan hukum untuk melaksanakan tugas mereka di sana," kata Lam. "Akan sangat tidak bertanggung jawab untuk tidak memperkenalkan UU ini hanya karena polisi mungkin mengalami kesulitan saat bertugas."
Â
Advertisement
Mengikuti Negara Lain?
Berbicara pada program radio RTHK pada Kamis (3/10/2019), anggota Dewan Eksekutif Ronny Tong Ka-wah juga mengatakan jika dia punya pilihan, dia akan memilih untuk meminta undang-undang darurat daripada memberlakukan jam malam.
"Sebaiknya polisi menahan mereka yang rusuh hingga 90 jam, dari 48 jam saat ini, selain memberlakukan undang-undang anti-topeng. Empat puluh delapan jam mungkin bukan waktu yang memadai bagi polisi untuk memproses mereka berdasarkan prosedur hukum," Tong menjelaskan.
Setidaknya ada 15 negara di Amerika Utara atau Eropa yang sudah menerapkan undang-undang anti-masker selama demonstrasi, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Prancis.