Kesepakatan Damai AS - Taliban Ditandatangani, Warga Afghanistan Masih Sulit Diyakinkan

Kesepakatan damai antara AS-Taliban belum tentu menghasilkan dampak positif sepenuhnya bagi Afghanistan.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 04 Mar 2020, 08:03 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2020, 08:03 WIB
Menengok Anak-Anak Afghanistan di Tempat Pembuangan Sampah
Anak-anak mencari barang-barang plasatik di tempat pembuangan sampah di Kabul, Afghanistan (15/12/2019). Menurut statistik PBB, Afghanistan adalah salah satu negara termiskin di dunia di mana anak-anak menjadi sasaran kemiskinan dan kekerasan ekstrem setiap hari. (AP Photo/Altaf Qadri)

Liputan6.com, Kabul - Amerika Serikat telah menandatangani kesepakatan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan. Namun pada akhirnya, semua ini tergantung pada rakyat Afghanistan di kedua sisi konflik untuk memutuskan seperti apa bentuk dari perdamaian itu.

Pertanyaan besar bagi banyak orang, dan khususnya mereka yang mengingat pemerintahan Taliban yang represif beragama yang berakhir dengan invasi AS pada 2001 adalah apakah para militan yang baru berani mengubah ideologi mereka.

Perempuan, terutama mereka yang berada di kota besar, khawatir bahwa hak-hak mereka tetap akan dirampas. 

Melansir dari AP, Selasa (3/3/2020), Taliban mengatakan mereka telah berubah. Anak perempuan akan diizinkan pergi ke sekolah, dan perempuan untuk bekerja. Perempuan bisa menjadi hakim tetapi bukan hakim agung; mereka dapat berpartisipasi dalam politik tetapi tidak dengan menjadi presiden, kata mereka. Maksudnya, perempuan bisa menjadi penentu situasi politik saat ini. 

Namun Taliban kemungkinan tidak akan mundur berdasarkan pemisahan jenis kelamin, kata Hakim Mujahed, perwakilan Taliban di PBB selama lima tahun kekuasaan mereka. Mereka tidak akan menerima pendidikan bersama dan mereka juga tidak akan menerima wanita dan pria yang bekerja bersama, katanya.

Mereka juga mengatakan jilbab, atau penutup kepala, akan menjadi suatu keharusan, meskipun mereka tidak akan menuntut burqa yang mencakup semua, menurut Mujahed.

Burqa sesungguhnya mendahului Taliban selama beberapa dekade, khususnya di pedesaan Afghanistan, tetapi kemudian menjadi simbol penindasan mereka terhadap perempuan selama pemerintahan mereka. Burqa masih dipakai di banyak pedesaan Afghanistan dan terlihat bahkan di ibu kota Kabul.

"Tentu saja mereka tidak mendukung pendidikan bersama. Mereka tidak mendukung kerja sama," kata Mujahed yang diam-diam kembali ke Kabul setelah Taliban digulingkan pada 2001 dan akhirnya bergabung dengan komite perdamaian pemerintah yang ditugaskan berdamai dengan Taliban.

"Tapi mereka mendukung penyediaan kondisi untuk pendidikan, untuk pekerjaan, untuk kegiatan ekonomi dan politik bagi perempuan ... tetapi dalam kerangka ajaran Islam," kata Mujahed lagi.

Meskipun serban adalah suatu hal yang umum di seluruh Afghanistan, bukan hanya di wilayah Taliban, mereka menjadikannya tanda tangan dari aturan mereka, mengharuskan semua pegawai pemerintah mengenakannya. Mereka juga menuntut semua pria memelihara bulu janggut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perjuangan Perempuan Afghanistan

Mengintip Prajurit Wanita Afghanistan Latihan Militer di India
Seorang kadet tentara wanita Afghanistan membidik dengan senapan saat latihan di Akademi Pelatihan Perwira di Chennai, India (12/12/2019). Sebanyak dua puluh kadet tentara Afghanistan mengikuti program latihan militer. (AFP/Arun Sankar)

Dalam setiap negosiasi, kedua belah pihak diharapkan untuk menuntaskan bentuk pemerintahan dan konstitusi. Konstitusi saat ini menyatakan bahwa tidak ada undang-undang yang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Namun, masih ada belum ada kejelasan tentang hak-hak perempuan di dalamnya. 

Najiba Ayubi, yang adalah direktur sebuah organisasi yang mengabdikan diri untuk pengembangan perempuan dan media dan pendukung kuat kebebasan berbicara, mengatakan bahwa wanita Afghanistan tidak bisa mengandalkan pria Afghanistan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dia mengatakan perempuan membutuhkan representasi perempuan yang kuat pula di depan hukum. 

"Kalau tidak, tidak ada pria yang akan bertarung dengan atau untuk kita ... karena mereka tidak menyadari apa yang kita hadapi, dan mungkin bagi sebagian dari mereka tidak penting apa yang akan terjadi pada wanita," katanya.

Afghanistan adalah negara yang konservatif dan “didominasi pria, dan pria selalu berpikir wanita adalah warga negara kelas dua,” kata Ayubi, seraya menambahkan bahwa butuh bertahun-tahun untuk merubah pandangan itu.

Ayubi punya alasan kuat untuk takut pada Taliban. Ketika mereka berkuasa, dia dua kali dipukuli karena ditutupi dengan tidak benar, bahkan ketika dia berjalan bersembunyi di balik burqa yang meliputi semuanya. Kakak-kakak perempuannya, seorang dokter dan seorang hakim, dipaksa untuk tinggal di rumah.

Namun, dia menyambut baik kesempatan untuk mengakhiri perang selama 40 tahun dan mengatakan dia yakin bahwa Taliban saat ini bukanlah Taliban pada tahun 2001.

"Taliban tahu bahwa ini adalah waktu yang lain. Ini bukan Afghanistan 20 tahun yang lalu," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya