Liputan6.com, Dhaka - Pemerintah Bangladesh berjanji mengajukan hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan usai protes massal mengenai kekerasan perempuan. Proses terjadi setelah adanya kasus perkosaan massal yang membuat geger Bangladesh.
Korban adalah seorang wanita 37 tahun yang diperkosa secara massal dan brutal. Video pemerkosaan itu tersebar di media sosial.
Advertisement
Baca Juga
Komisi Nasional HAM Bangladesh menyebut wanita itu diserang di distrik Noakhali, diperkosa berkali-kali, dan diancam. Sebanyak delapan orang telah ditangkap.
Pada kasus berbeda, seorang wanita diduga diperkosa secara massal di hotel di distrik Sylhet. Beberapa orang sudah ditangkap.
Dilaporkan BBC, Selasa (13/10/2020), Menteri Hukum Bangladesh Anisul Haq berkata Presiden Abdul Hamid akan mengeluarkan peraturan (ordinance) agar hukuman mati untuk kasus pemerkosaan itu disahkan.
Setidaknya, ada 1.000 kasus pemerkosaan di Bangladesh tahun ini. Aktivis HAM berkata banyak kasus yang tak dilaporkan karena perempuan khawatir terkena stigma.
Kasus pemerkosaan yang dilaporkan pun tidak selalu berlanjut hingga pelaku dihukum. Para pengunjuk rasa lantas menuntut agar ada perubahan pada cara proses hukum kasus pemerkosaan.
Parlemen Bangladesh saat ini tidak dalam masa sidang, sehingga pemerintah memutuskan memakai ordinance untuk langsung meloloskan hukum mati bagi kasus pemerkosaan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Hari Anak Perempuan Internasional, Semua Orang Punya Kekuatan untuk Hentikan Kekerasan
Pembebasan risiko tindak kekerasan, tanpa membungkam suara anak perempuan diserukan Yayasan Plan International Indonesia di momen Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada Minggu (11/10/2020).
Dalam praktiknya, Anindya Vivi selaku Co-Founder Hollaback Community Jakarta mengatakan, semua orang punya kekuatan untuk menghentikan kekerasan pada anak perempuan dan perempuan secara umum.
"Penting untuk punya empati terhadap orang lain dan sepenuhnya memimpin diri sendiri dalam melakukan sesuatu," katanya dalam webinar Freedom Online: Kebebasan berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Berbasis Gender Online, Jumat, 9 Oktober 2020.Â
Ia juga mendorong untuk meniadakan kebiasaan victim blaming. "Misal, kayak yang belum lama viral di media sosial. Ada yang cerita soal kekerasan yang dialaminya. Orang malah berkomentar, 'Kenapa nggak lapor?' Kita kan tidak tahu ya. Siapa tahu pelaku ada di dekat korban dan ia tak bisa atau takut melapor," ujarnya.
Rentan kriminalisasi ini dinilainya merupakan buntut belum ada undang-undang yang cukup melindungi perempuan.Â
Langgeng Utomo menjelaskan, pihak Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri tengah mengembangkan cara merespons cepat sederet laporan kejahatan siber, termasuk kekerasan pada anak, yang masuk ke laman patrolisiber.id.
Mempercepat proses, ia meminta pelapor melengkapi bukti berupa layar tangkap akun dan kontennya. "Lebih bagus lagi ada link-nya," ungkap Utomo.
Advertisement
Layanan Telepon Sahabat Anak
Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Valentina Ginting, menyambung, pihaknya juga telah mengusung sistem pelaporan.
"Ada layanan call center Sahabat Anak (TeSA) di 129 yang bisa dihubungi dari seluruh Indonesia," katanya. Dengan memberi kemudahan, Valentina mengatakan, pihaknya berupa menekan keputusan enggan melapor.
"Bagaimana kami mempercepat layanan dan dilakukan secara komprehensif," katanya.
Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mariam Baratha, pun menjabarkan sederet upaya melindungi anak perempuan dan perempuan muda di ranah daring.
"Ada regulasi, terutama soal perlindungan data pribadi. Selain RUU perlindungan data pribadi, kami juga terus mendorong masyarakat lebih peduli dalam melindungi data pribadi sendiri," katanya.
Juga, pihaknya berupa ameningkatkan konten positif di internet lewat bekerja sama dengan beberapa kementerian. Salah satunya dengan melakukan pemblokiran konten yang tak sesuai dengan UU ITE.