Liputan6.com, Yangon - Pemerintah Myanmar menerapkan status darurat militer di Hlaing Tharyar dan Shwepyitha, keduanya berada di Yangon. Langkah itu diambil setelah ada demo mematikan yang menewaskan setidaknya 18 orang.
Dilansir Channel News Asia, Senin (15/3/2021), perintah darurat militer itu diumumkan lewat televisi negara. Komandan daerah Yangon diberikan kuasa untuk menegakan keamanan dengan "lebih efektif."
Advertisement
Baca Juga
Di Hlaing Tharyar, polisi dan prajurit bentrok dengan pendemo yang membawa tongkat dan pisau. Pendemo juga memakai perisai yang dibuat dari tong sampah untuk menolong korban yang ditembak.
Seorang dokter berkata 15 meninggal, tetapi ia memperkirakan jumlah kematian akan meningkat, demikian laporan AFP.
Warga yang berada di rumah mengaku mendengar tembakan dan melihat truk-truk militer Myanmar melintas.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kedubes China Ikut Resah
Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengeluarkan peryataan kekecewaan atas kekerasan yang terjadi di Myanmar. Ia juga berkata ada laporan penyiksaan.
Christine berkata kasus kekerasan yang terus berlangsung melemahkan prospek perdamaian dan stabilitas.
Duta Besar Inggris Dan Chugg turut meminta agar kekerasan segera dihentikan. Rezim militer pun diminta segera menyerahkan kekuasaan kepada pejabat sipil yang terpilih.
Wilayah yang terkena darurat militer merupakan lokasi pabrik-pabrik garmen di Myanmar. Polisi melaporkan ada lima yang terbakar, termasuk milik China.
Kedutaan Besar China di Myanmar ikut mengecam aksi pendemo dan meminta polisi cepat-cepat melindugi kepentingan China.
"(Kedubes) secepatnya meminta polisi lokal untuk menjamin keamanan bisnis dan personel China," tulis Kedubes China.
Advertisement
Demonstrasi Akan Terus Berlanjut
Korban-korban lain berjatuhan di berbagai daerah. Satu kematian dilaporkan di kota Tamwe setelah polisi menembak ke arah ratusan pendemo yang berusaha membakar stasiun polisi.
Seorang pria juga ditembak hingga tewas di kota Hpakant. Seorang wanita lainnya ditembak kepalanya di Mandalay.
Meski demikian, pihak pendemo mengaku akan terus berdemo melawan kudeta militer.
"Saya telah melihat pahlawan-pahlawan yang gugur memberikan nyawa mereka," ujar Ma Khine Lay (21).
"Saya akan berjuang hingga akhir," ujar perempuan muda itu.