Liputan6.com, New York City - Special Rapporteur (Pelapor Khusus) PBB melihat kekerasan yang terjadi di Myanmar sudah menjurus ke arah kejahatan terhadap kemanusiaan. Jumlah korban tewas akibat demonstrasi anti-kudeta militer sudah sekitar 70 orang.
Tindakan junta militer yang terkoordinasi kepada masyarakat sipil disebut atas sepengetahuan pemimpin mereka. Alhasil, hal itu kemungkinan sudah menginjak treshold hukum kejahatan terhadap kemanusiaan.
Advertisement
Baca Juga
Pandangan itu diberikan oleh Pelapor Khusus PBB Thomas Andrews, mantan anggota DPR Amerika Serikat. Ia menyebut protes damai di rumah pun menjadi target kekerasan.
"Junta menangkap lusinan, terkadang ratusan orang, tiap harinya," ujar Andrews seperti dilaporkan UN News, Kamis 11 Maret 2021.
"Kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk kekerasan terhadap orang-orang yang duduk dengan damai di rumah-rumah mereka senantiasa bertambah," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
5 Saran
Thomas Andrews berkata tindakan para junta militer sudah menyerang prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB dan PBB itu sendiri.
"Rakyat Myanmar sedang putus asa. Mereka memegang dan membela prinsip-prinsip tertinggi dari dewan ini dan PBB, termasuk komitmen terhadap non-kekerasan. Tetapi prinsip-prinsip tersebut, dan nyawa mereka, sedang dalam serangan ganas," jelas Andrews.
Dewan Keamanan PBB hingga kini belum mau mengambil tindakan. Andrews lantas meminta agar anggota PBB yang beraksi.
Ada lima saran yang diberikan Andrews terhadap Myanmar. Pertama, memberikan sanksi bisnis dan sektor minyak dan gas di Myanmar.
Kedua, menerapkan embargo senjata. Ketiga, memastikan akuntabilitas dengan menerapkan yuridiksi universal, apabila Dewan Keamanan tak ingin membahas isu ini ke Mahkamah Internasional.
Keempat, bekerja secara langsung dengan masyarakat sipil untuk memberikan bantuan kemanusiaan, serta terakhir tidak mengakui militer sebagai pemerintah Myanmar.
Advertisement
Respons Myanmar
Menteri Luar Negeri Myanmar Chan Aye berkata bahwa militer tidak melanggar konstitusi, serta berjanji akan melaksanakan demokrasi.
Saat ini, Myanmar dipimpin State Administration Council (SAC). Pemimpinnya adalah Jenderal Min Aung Hlaing.
"(SAC) telah membuat komitmen untuk mengkonsolidasi sistem demokrasi multi-partai yang jujur serta disiplin, yang sesuai dengan situasi negara seperti yang diinginkan rakyat Myanmar," ujar pihak SAC.
Chan Aye juga mengaku pemerintah telah menahan diri sebisa mungkin saat berhadapan dengan protes, serta mengikuti standar internasional.