200 LSM Dunia Minta PBB Embargo Pasokan Senjata ke Myanmar

Advokat senior PBB untuk Amnesty International menilai kecaman belaka oleh komunitas internasional sejauh ini tidak berpengaruh untuk Myanmar.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 06 Mei 2021, 16:55 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2021, 16:55 WIB
Kudeta Militer di Myanmar.
Kudeta Militer di Myanmar. (Foto: AFP)

Liputan6.com, New York - Amnesty International dan lebih dari 200 organisasi non-pemerintah (LSM) lainnya telah menyerukan embargo senjata global terhadap Myanmar.

Hal ini dilakukan mereka mengingat tindakan keras yang terus berlanjut oleh militer terhadap pengunjuk rasa setelah kudeta Myanmar pada Februari 2021.

"Sudah waktunya bagi Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan kekuatannya untuk memberlakukan embargo senjata global yang komprehensif untuk mencoba dan mengakhiri pembunuhan besar-besaran oleh militer," kata Lawrence Moss, Advokat senior PBB untuk Amnesty International.

Kecaman belaka oleh komunitas internasional sejauh ini tidak berpengaruh, katanya, demikian dikutip dari laman Al Jazeera, Kamis (6/5/2021).

Kelompok-kelompok tersebut meminta Inggris Raya, konseptor teks Myanmar yang ditunjuk Dewan Keamanan, untuk "segera membuka negosiasi di Dewan Keamanan tentang rancangan resolusi yang mengesahkan embargo senjata".

"Tidak ada pemerintah yang boleh menjual satu peluru pun ke junta dalam keadaan seperti ini," tambah kelompok itu.

"Menerapkan embargo senjata global ke Myanmar adalah langkah minimum yang diperlukan Dewan Keamanan untuk menanggapi kekerasan militer yang meningkat."

 

Saksikan Video Berikut Ini:


Kekacauan di Myanmar

FOTO: Potret Kerasnya Protes Menentang Kudeta Militer Myanmar
Para pengunjuk rasa berlindung di balik perisai buatan sendiri saat mereka menghadapi polisi selama tindakan keras terhadap demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 16 Maret 2021. (STR/AFP)

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.

Aksi ini lantas memicu pemberontakan massal dari protes harian dan boikot nasional dari pegawai negeri.

Sejauh ini, hampir 770 orang telah tewas dalam tindakan keras mematikan, menurut kelompok pemantau lokal dan lebih dari 4.500 orang telah dipenjara.

Namun, junta militer melaporkan jumlah kematian yang jauh lebih rendah dan tak setuju dengan data kelompok pemantau.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya