COVID-19 Mereda, Eropa Kini Hadapi Kenaikan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Sejumlah negara di Eropa menghadapi kenaikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 29 Jun 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2021, 08:00 WIB
Ilustrasi kekerasan kepada perempuan (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi kekerasan kepada perempuan (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketika sudah memasuki tahap aktivitas normal, sejumlah negara di Eropa menghadapi kenaikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

Kasus-kasus kekerasan itu diyakini terjadi selama pemberlakukan lockdown di negara-negara Eropa, dalam upaya meredam penyebaran Virus Corona.

Kejadian naas terjadi pada seorang perempuan di Prancis bernama Chahinez, yang dibakar hidup-hidup oleh suaminya.

Di Swedia, lima perempuan meninggal dalam tiga minggu selama musim semi.

Sementara di Spanyol, sejak status keadaan darurat berakhir pada Mei 2021, seorang perempuan tewas setiap tiga hari, dibandingkan dengan rata-rata satu orang dalam sepekan sebelumnya.

Kemudian di Belgia, 13 perempuan meninggal karena kekerasan sejak akhir April 2021 -  dibandingkan dengan 24 di seluruh tahun 2020,

Di Prancis, 56 perempuan terbunuh sejauh tahun ini - menurut angka LSM di negara tersebut.

"Dengan perempuan mendapatkan lebih banyak kebebasan, para penyerang merasa seolah-olah mereka kehilangan kendali dan bereaksi dengan kekerasan yang lebih ekstrim," kata Victoria Rosell, kepala satuan tugas pemerintah Spanyol, dalam melawan kekerasan gender, seperti dikutip dari AFP, Selasa (29/6/2021).

"Dalam kasus peningkatan jumlah yang kami lihat dalam beberapa bulan terakhir, kami telah melihat bagaimana pelonggaran pembatasan telah mengungkap pandemi lain yang mendasarinya, yaitu kekerasan oleh laki-laki," sebut Rosell.

Pada tahun 2004, Spanyol menyetujui undang-undang pertama di Eropa yang secara khusus menindak kekerasan dalam rumah tangga, menjadikan jenis kelamin korban sebagai faktor yang memberatkan dalam kasus penyerangan.

Dan dengan meningkatnya kekerasan mematikan baru-baru ini, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez telah menegaskan kembali keinginannya untuk mengakhiri "momok misoginis" ini  untuk selamanya.

Lonjakan Panggilan Darurat Kekerasan di Negara-negara Eropa

Ilustrasi kekerasan seksual (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)
Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Di seluruh Eropa, lockdown telah mempersulit penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Korban, yang terpaksa untuk tinggal di rumah dengan pelaku, hanya bisa meminta bantuan dengan sangat hati-hati.

Selama lockdown tiga bulan di Spanyol pada awal pandemi, permohonan bantuan naik 58 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019 dengan permohonan online - atau "diam" - melonjak 458 persen, menurut angka Kementerian Kesetaraan negara itu.

"Ini menunjukkan bagaimana perempuan bahkan tidak bisa menelepon dari rumah," kata Rosell.

Hal yang sama berlaku di Italia dan Jerman, dengan panggilan ke hotline kekerasan dalam rumah tangga memuncak pada April dan Mei 2020, sementara di Inggris, LSM Refuge mengatakan panggilan hampir dua kali lipat antara musim semi 2020 dan Februari 2021.

Untuk memberikan garis hidup bagi perempuan yang berisiko, berbagai negara datang dengan cara inovatif untuk meminta bantuan, seperti di Italia di mana perempuan dapat menghubungi nomor darurat polisi dan mengatakan: "Saya ingin memesan pizza margarita" yang berarti adalah peringatan operator untuk mengirim patroli keliling.

Di Spanyol, perempuan dapat memberi tahu pihak berwenang dengan pergi ke apotek, salah satu dari sedikit toko yang buka selama lockdown, dan meminta "masker ungu".

Meskipun jumlah panggilan untuk bantuan meningkat, jumlah pengaduan dan pembunuhan juga datang selama penguncian, jelas Angeles Carmona, kepala Observatorium Spanyol untuk Kekerasan Berbasis Domestik dan Gender.

Jumlah Kasus Pembunuhan Terhadap Perempuan di Eropa per 2020

kekerasan seksual perempuan
ilustrasi kekerasan pada perempuan/copyright by Jacob Lund (Shutterstock)

Di Prancis, Italia, dan Spanyol, jumlah pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan atau mantan pasangan mereka turun tahun lalu - masing-masing menjadi 90, 67 dan 45, sementara di Belgia masih tercatat 24 kasus.

Tetapi angka-angka tersebut tidak mengejutkan Angeles Jaime de Pablo, kepala Themis, organisasi ahli hukum perempuan Spanyol, yang mengatakan aktivitas bekerja dari rumah dan kurangnya kontak sosial menciptakan "kondisi ideal untuk terjadinya kekerasan".

"Dan dalam hal itu, peningkatan dalam kasus kekerasan yang mematikan baru-baru ini dapat diperkirakan", katanya kepada AFP.

Dalam keadaan normal, kekerasan seperti itu sering dipicu oleh perceraian atau perpisahan, atau ketika mantan pasangan memulai hubungan baru - situasi yang sebagian besar tertahan selama lockdown.

"Begitu keadaan darurat dan lockdown. berakhir, banyak korban mengambil tindakan sendiri dan memutuskan untuk pergi," jelas Carmen Ruiz Repullo, seorang sosiolog yang berspesialisasi dalam kekerasan gender.

"Dan di situlah risikonya jauh lebih tinggi dan Anda mulai melihat kasus pembunuhan," sebut Repullo.

Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar

Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar
Infografis Cara Pakai Masker Dobel yang Benar (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya