Liputan6.com, Jakarta - Kartika Soekarno, anak dari Presiden pertama Indonesia Sukarno dengan Ratna Sari Dewi mencurahkan isi hatinya dalam kolom opini situs berita Inggris, The Guardian.
Kartika Soekarno menyebut Inggris berutang maaf pada ayahnya dan jutaan masyarakat Indonesia yang terjadi di masa lalu.
Dalam opininya ia katakan: "Setelah Perang Dunia Kedua, kita dapat berargumen bahwa kolonialisme di Indonesia telah digantikan oleh imperialisme AS dan Inggris. Mereka melihat gerakan non-blok, di mana ayah saya adalah pendirinya, sebagai ancaman bagi pembangunan kerajaan dan kepentingan bisnis mereka," tulis Kartika dalam kolom Opini The Guardian, Minggu (7/11/2021).
Advertisement
Baca Juga
"Pemerintah Inggris menginginkan ketidakhadiran ayah saya karena kepentingan bisnisnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutu mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Papua Barat memiliki tambang emas terbesar di dunia."
"Ayah saya juga membuat marah Inggris dengan meluncurkan 'konfrontasi', kampanye perbatasan militer terbatas untuk menunjukkan penentangan Indonesia terhadap Malaysia yang baru dibentuk, yang ia lihat sebagai ciptaan dan ancaman kolonial. Strategi Amerika Serikat dalam menggulingkan ayah saya begitu sukses sehingga pemerintah AS kemudian menirunya di Chili dengan nama sandi "Operasi Jakarta"."
"Nasib tragis ayah saya dialami oleh jutaan orang Indonesia yang hidupnya dihancurkan oleh kudeta militer berdarah tahun 1965, yang saya yakini didukung oleh pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Dari dokumen-dokumen yang baru-baru ini dibuka, kami menemukan bahwa, mulai tahun 1950-an, CIA terus mengawasi Sukarno. Pada tahun 1965, Inggris menghasut pembunuhan massal dengan dalih bahwa orang-orang komunis bertanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal terkemuka Indonesia. Hari ini, masih ada perdebatan tentang siapa yang berada di balik pembunuhan ini. Ayahku tahu komunis tidak membunuh enam jenderalnya; dia juga tahu maksud pemerintah Inggris dan Amerika Serikat untuk melihatnya digulingkan."
Kartika Soekarno turut beropini soal nasib banyak warga Indonesia yang tidak mendapatkan hak yang layak sebagai warga negara akibat gerakan 30 September.
"Jadi, ketika Suharto mengambil alih dan memerintahkan pembunuhan semua komunis dan pengikut Sukarno, banyak warga sipil yang bahkan tidak tahu arti ideologi komunis juga ditangkap, disiksa, dibunuh."
"Selama beberapa generasi, anggota keluarga korban juga dianiaya. Mereka ditandai dengan simbol pada kartu identitas mereka yang mencegah mereka mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak dapat bersekolah di sekolah umum dan sulit bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan di sekolah swasta kecuali beberapa sekolah Katolik. Bahkan saudara perempuan saya sendiri, Megawati Sukarno Putri, tidak dapat menyelesaikan studinya di universitas," kata Kartika Soekarno.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jangan Sembunyikan Kebenaran Sejarah
Kartika Soekarno menyatakan bahwa sejarah kelam Indonesia ini sebagian besar masih tersembunyi.
"Kurikulum sejarah Eropa dan Amerika tidak menyebutkan perannya dalam masa kelam kolonialisme dan imperialisme barat pada masa perang dingin. Sebaliknya, sebagian besar buku teks masih menawarkan peran pemuliaan diri dalam sejarah ini."
"Seperti yang ditunjukkan oleh kisah Pengamat, Inggris terlibat dalam pembunuhan massal dan memungkinkan 32 tahun pemerintahan Suharto yang lalim. Sudah saatnya pemerintah Inggris meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kerugian besar yang ditimbulkannya."
"Beberapa pandangan Barat yang sinis mungkin memandang rendah negara-negara yang baru merdeka karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kebebasan."
"Namun, mereka tampaknya tidak menyadari bahwa beberapa pemerintah barat telah memainkan peran utama dalam menghancurkan jutaan nyawa di bawah ancaman propaganda komunis palsu. Komunisme diperbolehkan di negara-negara Eropa, tetapi di negara-negara dunia lain disebut warga sipil yang terkait dengan komunisme atau dicurigai komunis akan dibunuh."
Advertisement
Kesulitan Temui Ayah Kandungnya
Dalam kolom opini ini, Kartika juga menggambarkan perasaannya yang masih terluka lantaran tak bisa menemui ayah kandungnya.
"Ayah saya, Sukarno presiden terpilih pertama Indonesia, dimasukkan ke dalam tahanan rumah pada Maret 1967 beberapa hari setelah saya lahir. Dia berusia 67 tahun. Pada bulan-bulan sebelumnya, telah terjadi pertumpahan darah di negara di mana dia kehilangan banyak teman dan sekutu terpercayanya. Setahun sebelumnya, dia mengirim ibu saya, yang sedang mengandung saya ke Jepang, menasihatinya untuk kembali ke Indonesia ketika situasinya membaik."
"Itu tidak pernah terjadi. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1970, saya melihat ayah saya untuk pertama kalinya, di ranjang kematiannya. Ibu saya dan saya tidak diizinkan untuk kembali ke negara itu dan kami tinggal di Prancis."
"Ayah saya meninggal beberapa jam setelah pesawat kami dari Paris mendarat. Berkat pemerintahan lalim dari presiden kedua -- Jenderal Suharto -- saya tidak dapat melihat ayah saya hidup, meskipun ibu saya telah mencoba berulang kali untuk masuk ke Indonesia."
Kartike mengaku masih menderita sakit yang mendalam memikirkan tahun-tahun kesepian ayahnya di bawah tahanan rumah.
Ditolak perawatan medis dan kunjungan keluarga karena Suharto tidak ingin mengambil risiko dengan memberinya kesempatan untuk berbicara.
"Suharto telah menguasai media massa dan ayah saya, yang suaranya sering terdengar di radio, dibungkam. Suaranya begitu diredam sehingga dia tidak bisa lagi berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri."