Liputan6.com, Paris - Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian berkata bahwa Rusia hanya pura-pura negosiasi saja dengan Ukraina. Strategi Rusia dinilai mirip dengan yang terjadi di Chechnya dan Suriah.
Dilaporkan RFI, Jumat (18/3/2022), Le Drien berkata ciri-ciri negosiasi Rusia disebut menuntut banyak permintaan, hingga membuat koridor kemanusiaan lalu menyalahkan pihak lain tak menghormatinya.
Advertisement
Baca Juga
"Sayangnya kia masih menghadapi logika Rusia yang sama, membuat permintaan yang maksimalis, menginginkan Ukraina untuk menyerah dan mengintensifkan peperangan pengepungan," ujar Le Drian kepada koran Le Parisien.
"Sebagaimana di Grozny dan Aleppo, ada tiga elemen tipikal, pengemboman tanpa diskriminasi, apa yang disebut 'koridor-koridor' kemanusiaan yang didesain agar menuduh pihak lain tidak menghormatinya, dan diskusi tanpa tujuan selain berpura-pura mereka menegosiasi," lanjutnya.
Sementara, Menlu Prancis menyebut Ukraina melaksanakan diskusi dengan bertanggung jawab dan berpikiran terbuka. Sejauh ini, gencatan senjata antara Rusia-Ukraina masih belum bisa terwujud.
Le Drien pun mengkritik retorika nuklir Vladimir Putin, serta menegaskan bahwa gencatan senjata adalah hal yang urgent.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Twitter Tindak 50.000 Konten Misinformasi Invasi Rusia ke Ukraina
Masalah misinformasi juga terus menyebar di tengah invasi Rusia. Twitter mengumumkan sejumlah upaya untuk meredam misinformasi yang beredar di platformnya terkait invasi Rusia ke Ukraina. Salah satunya adalah dengan pelabelan atau penghapusan sejumlah konten.
Mengutip informasi dari Engadget, Jumat (18/3/2022), Twitter telah memberikan label serta menghapus 50.000 konten yang disebut melanggar kebijakan media manipulasi dan buatan di perusahaan.
"Kami juga melihat peningkatan jumlah secara substansial yang dibagikan dengan konteks menipu, menyesatkan, atau tidak akurat, termasuk video konflik lama yang dibagikan seolah-olah terjadi di Ukraina," tulis Twitter melalui blog-nya.
Selain itu, Twitter juga telah menghapus 75.000 akun yang melanggar kebijakan manipulasi platform dan spam. Menurut perusahaan, akun-akun ini melakukan manipulasi layanan, termasuk spam dengan motivasi finansial dan diprediksi tidak terafiliasi dengan aktor pemerintah atau kampanye yang spesifik.
Twitter juga mengizinkan media yang didukung pemerintah Rusia dan telah mendapatkan centang biru, seperti RT dan Sputnik, tetap beroperasi dan mendapatkan pelabelan sebagai media yang didukung Rusia. Namun, keduanya tetap dilarang untuk beriklan di Twitter.
Di sisi lain, Rusia sendiri diketahui telah memblokir akses ke Twitter sejak akhir bulan lalu. Menurut kelompok pemantau internet NetBlocks, pemblokiran ini dilakukan untuk menahan arus informasi.
NetBlocks menyebut pihaknya melihat koneksi ke Twitter gagal atau sangat dibatasi di setiap penyedia telekomunikasi, mulai dari mulai dari operator Rostelecom, MTS, Beeline, dan MegaFon.
Sejak invasi ke Ukraina, pengguna di Rusia masih bisa mengakses Twitter melalui layanan VPN, tapi koneksinya dibatasi. Sejauh ini, motivasi Rusia membatasi Twitter tidak jelas. Namun keputusan ini muncul di tengah tindakan keras yang lebih luas terhadap Twitter.
Sebelumnya, Rusia mengumumkan pemblokiran Facebook, usai jejaring sosial ini menghapus akun empat organisai media yang dikelola pemerintah.
Advertisement