Liputan6.com, Addis Ababa - Direktur Eksekutif UNICEF Catherina Russell mendesak masyarakat internasional untuk segera meningkatkan dukungan guna mencegah bencana kemanusiaan akibat kekeringan yang melanda Ethiopia dan seluruh wilayah Semenanjung Somalia.
“Kekeringan di Ethiopia sangat menghancurkan,” ujarnya pada akhir kunjungan selama empat hari ke negara itu.
Advertisement
Baca Juga
“Di wilayah Somalia, salah satu wilayah yang mengalami kekeringan paling parah, saya bertemu dengan anak-anak dan keluarga yang benar-benar telah kehilangan segalanya. Hewan ternak mereka mati dan akibatnya mereka tidak memiliki sumber pendapatan. Mereka tidak dapat memberi makan anak-anak dan kini berupaya keras menemukan makanan dan air bersih. Kita perlu menjangkau keluarga-keluarga ini sekarang juga sebelum terlambat,” tegas Russell.
Tiga musim hujan yang gagal secara berturut-turut telah membuat empat negara di wilayah Semenanjung Somalia yang juga dikenal dengan sebutan Tanduk Afrika mengalami salah satu musim kering terburuk dalam beberapa dasawarsa, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (30/4/2022).
10 Juta Orang Perlu Bantuan Mendesak
Secara keseluruhan di Djibouti, Ethiopia, Kenya dan Somalia, terdapat 10 juta anak dan keluarga yang membutuhkan bantuan penyelamatan jiwa mendesak. Kekeringan telah memicu malnutrisi di kalangan anak-anak dan keluarga pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sekitar 1,7 juta anak mengalami kekurangan gizi parah di seluruh sub-kawasan tersebut.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Malnutrisi Akut
Di Ethiopia, tingkat penerimaan di klinik-klinik perawatan untuk mengobati malnutrisi gizi yang akut pada anak-anak balita 15 persen lebih tinggi pada Februari 2022 dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Anak-anak terpaksa minum air yang telah terkontaminasi, dan ini membuat mereka berisiko terjangkit kolera dan penyakit mematikan lainnya. Di Somalia, ada lebih dari seribu kasus campak dengan 16 kematian,” ujar Russell.
Tetapi bukan hanya kekurangan gizi dan penyakit yang mengancan kehidupan anak-anak, musim kering yang parah juga telah membuat lebih dari 600.000 anak putus sekolah.
Sekolah-sekolah ditutup karena kekurangan air bersih dan banyak anak putus sekolah karena mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk mencari makan dan air, atau menjaga anak-anak yang lebih kecil ketika pengasuh mereka berusaha mencari makanan dan air bagi keluarga dan ternak mereka.
Advertisement
Perkawinan Anak Melesat 51 Persen
“Bepergian jauh membuat anak-anak menghadapi banyak risiko, termasuk risiko perkawinan anak. Perkawinan anak (telah) meningkat di masa kekeringan karena orang tua menikahkan anak mereka dengan harapan akan mendapat makan dan perlindungan lebih baik, serta untuk mendapatkan mas kawin. Di beberapa daerah yang dilanda kekeringan di Ethiopia, ada peningkatan perkawinan anak hingga 51 persen,” ujar Russell lirih.
Untuk mengatasi hal itu, UNICEF menargetkan 3,4 juta orang, termasuk di antaranya 1,4 juta anak, sebagai bagian dari respons langsung badan tersebut.
Dalam kunjungannya, Russell juga melangsungkan pertemuan dengan Presiden Ethiopia Sahle-Work Zwede dan Wakil Presiden sekaligus Menteri Luar Negeri Demeke Mekonnen Hassen.
Dalam kedua pertemuan itu, Russell membahas kemitraan jangka panjang antara UNICEF dan pemerintah untuk memperkuat tanggapan lebih jauh guna mengatasi kekeringan dan menanamkan investasi dalam pembangunan ketahanan.
Kelompok HAM Tuduh Pasukan Regional Ethiopia Lakukan Pembersihan Etnis di Tigray
Dua organisasi HAM terkemuka Rabu (6/4) menuduh pasukan bersenjata dari wilayah Amhara Ethiopia melancarkan pembersihan etnis terhadap etnis Tigrayan dalam perang yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan membuat lebih dari satu juta orang mengungsi.
Amnesty International dan Human Rights Watch menyatakan dalam laporan bersama bahwa pelanggaran yang dilakukan para pejabat dan pasukan khusus regional Amhara serta milisi dalam pertempuran di Tigray Barat merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mereka juga menuduh militer Ethiopia terlibat dalam tindakan tersebut, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia.
“Sejak November 2020, para pejabat dan pasukan keamanan Amhara telah terlibat dalam kampanye pembersihan etnis tanpa henti untuk mengusir warga Tigrayan di Tigray Barat dari rumah mereka,” kata Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch.
Juru bicara pemerintah Amhara Gizachew Muluneh mengatakan kepada Reuters tuduhan pelanggaran dan pembersihan etnis di Tigray Barat merupakan “kebohongan” dan berita yang “dibuat-buat.”
Juru bicara pemerintah dan militer Ethiopia, mantan komandan pasukan khusus Amhara dan administrator Tigray Barat tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Advertisement