Liputan6.com, Yangon - Amerika Serikat pada Kamis (6/10) menarget tiga warga negara Myanmar dan sebuah perusahaan yang disebutnya membantu junta merebut kekuasaan di negara Asia Tenggara itu awal tahun lalu dengan memasok persenjataan, kata Departemen Perdagangan AS.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada Februari 2021, menahan pemimpin demokratis negara itu, termasuk peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, kemudian menekan unjuk rasa yang muncul setelahnya dengan tindak kekerasan, memicu peningkatan konflik. Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi terhadap pihak militer dan pengusaha-pengusaha Myanmar.
Baca Juga
Departemen Perdagangan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya menjatuhkan sanksi pada pengusaha Myanmar Aung Moe Myint, putra seorang pejabat militer yang disebutnya memfasilitasi pembelian senjata, serta perusahaan yang didirikannya, Dynasty International Company Limited, dan dua direkturnya.
Advertisement
“Hari ini kami menarget jaringan pendukung dan pengambil keuntungan dari perang yang memungkinkan pengadaan persenjataan bagi rezim militer Myanmar,” kata Brian Nelson, wakil menteri perdagangan AS bidang terorisme dan intelijen keuangan, dalam pernyataan itu, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (9/10/2022).
“Departemen Perdagangan akan terus mengambil tindakan untuk menurunkan kemampuan militer Myanmar untuk melakukan tindak kekerasan brutal terhadap rakyat Myanmar.”
Departemen Luar Negeri AS juga melarang kepala kepolisian dan wakil menteri dalam negeri Myanmar Than Hlaing masuk ke AS karena keterlibatannya dalam kasus pelanggaran HAM, kata Departemen Perdagangan, yang secara khusus mengutip kasus pembunuhan di luar proses hukum terhadap para pengunjuk rasa damai pada Februari 2021.
Junta Myanmar Vonis Pembuat Film Asal Jepang Penjara 10 Tahun
Seorang pembuat film dokumenter Jepang dijatuhi hukuman total 10 tahun penjara oleh pengadilan di Myanmar.
Toru Kubota (26) pertama kali ditahan pada Juli lalu di dekat sebuah demonstrasi anti-pemerintah di Kota Yangon.
Melansir dari laman BBC, Jumat (7/10/2922), pria asal Jepang ini dijatuhi hukuman tiga tahun atas tuduhan penghasutan dan tujuh tahun karena melanggar undang-undang komunikasi elektronik. Kendati demikian tidak jelas diketahui apakah dia akan dapat menjalani hukuman ini secara bersamaan.
Dia menghadapi dakwaan lain karena melanggar undang-undang imigrasi dan akan disidang minggu depan.
Menurut kantor berita Jepang Kyodo, Pemerintahan Myanmar mengklaim Tori Kubota masuk ke Myanmar dari negara tetangga Thailand menggunakan visa turis, dan bahwa dia telah berpartisipasi dalam demonstrasi anti-pemerintah pada tahun 2021.
Junta militer juga mengatakan bahwa Kubota sebelumnya telah melaporkan tentang minoritas Rohingya.
Advertisement
Dokumenter Warga Myanmar
Toru Kubota pertama kali tiba di Myanmar pada Juli 2022, ia datang untuk membuat film "dokumenter yang menampilkan orang Myanmar".
Menurut situs pembuat film Film Freeway, Toru Kubota memulai karirnya ketika dia bertemu dengan seorang pengungsi Rohingya di Jepang pada tahun 2014, dan kemudian membuat "beberapa film tentang pengungsi dan masalah etnis di Myanmar".
Profil Instagram-nya juga menampilkan beberapa foto pengungsi Rohingya dari tahun 2017.
"Penahanan jurnalis Jepang Toru Kubota oleh Myanmar menunjukkan bahwa rezim militer tidak akan berhenti untuk menekan pelaporan berita independen," kata Shawn Crispin, perwakilan senior Komite untuk Melindungi Wartawan di Asia Tenggara awal tahun ini.
"Junta Myanmar harus berhenti memperlakukan jurnalis sebagai penjahat."
Terdapat Jurnalis Jepang lain yang Ditangkap
Awal tahun lalu, seorang jurnalis lepas Jepang juga ditangkap dan didakwa menyebarkan berita palsu, Ia adalah jurnalis asing pertama yang diketahui didakwa sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021.
Dia kemudian dibebaskan, dengan pihak berwenang Myanmar bersikeras bahwa dia telah melanggar hukum tetapi mengatakan bahwa mereka membebaskannya atas permintaan pemerintah Jepang.
Diperkirakan lebih dari 15.600 orang termasuk anggota parlemen, aktivis, dan jurnalis telah ditangkap sejak militer menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis pada Februari 2021.
Hal tersebut memicu protes besar di seluruh negeri dan gerakan perlawanan yang meluas.
Advertisement