, Kabul - Para perempuan Afghanistan berdiri di luar universitas pada hari Rabu 21 Desember 2022. Banyak di antara mereka yang dilarang masuk oleh pasukan keamanan yang memberlakukan larangan pendidikan tinggi bagi perempuan oleh Taliban.
"Kami semua merasa seperti burung di dalam kandang, kami berpelukan, menjerit, dan menangis. Mengapa ini terjadi pada kami?" Amini, mahasiswi keperawatan berusia 23 tahun di Kunduz, mengatakan kepada kantor berita Prancis, AFP.
Baca Juga
Dilansir DW Indonesia, Kamis (22/12/2022), universitas di seluruh negeri sedang libur musim dingin ketika larangan itu diumumkan, tetapi banyak mahasiswi yang mendatangi kampus untuk mengikuti ujian atau belajar di perpustakaan.
Advertisement
Beberapa mahasiswi diizinkan masuk ke kampus pada hari Rabu (21/12) untuk menyelesaikan prosedur administrasi, sedangkan yang lain diizinkan menghadiri upacara wisuda yang sudah dijadwalkan, kata juru bicara Universitas Kabul kepada Associated Press.
Hasti, mahasiswi jurusan politik tahun ketiga, termasuk di antara mahasiswi yang ujiannya dibatalkan karena larangan tersebut. Dia mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa persiapan ujiannya berubah menjadi duka setelah aturan itu diumumkan.
"Saya telah melakukan yang terbaik untuk belajar; itu sangat sulit bagi saya, karena saat ini saya harus berhenti belajar dan tujuan saya tidak tercapai ... Jika situasi terus seperti ini bagi perempuan, berarti perempuan dan anak perempuan sama saja dikubur hidup-hidup," katanya.
Larangan Kuliah
Larangan terbaru dari Taliban tersebut dikutuk sejumlah negara. Masyarakat Afganistan juga mengungkapkan rasa frustrasi mereka. Selain berkumpul untuk memprotes keputusan di luar kampus di tengah kehadiran aparat keamanan yang ketat, banyak yang meramaikan media sosial dan mengutuk larangan tersebut.
Pengguna Twitter dan Facebook menggunakan tagar #LetHerLearn untuk memprotes keputusan tersebut.
"Kami datang ke universitas pada pukul 6:30 pagi," cuit seorang mahasiswi bernama Tamana Aref, dengan foto-foto yang menunjukkan jalan-jalan kosong di sekitar Universitas Kardan di Kabul.
"Laki-laki diizinkan masuk, dan mereka menodongkan senjata ke arah kami dan menyuruh kami pulang."
Advertisement
Terus Dapat Kecaman
Pengguna media sosial lain, Hadia Rahmani, mengatakan di Facebook: "Saya tahu ini akan terjadi suatu hari nanti, bahkan untuk pergi ke jalan-jalan akan dilarang sampai pemberitahuan lebih lanjut."
Media sosial adalah salah satu wadah terakhir di mana warga Afganistan masih diizinkan untuk menyampaikan keluhan mereka.
Di luar perbatasan Afganistan, larangan untuk mahasiswi di universitas telah dikecam oleh para pemimpin dunia dan organisasi hak asasi manusia.
Misi PBB di Afganistan mendesak pemerintah Taliban untuk segera mencabut keputusan itu dan juga menyerukan pembukaan kembali sekolah perempuan di atas kelas enam, pembatasan lain yang sebelumnya diperkenalkan pada hak pendidikan perempuan.
Pemerintah Taliban harus "mengakhiri semua tindakan yang mencegah perempuan dan anak perempuan berpartisipasi penuh dalam kehidupan publik sehari-hari," kata PBB.
Pesan untuk Pemerintah Taliban
Sementara itu para pejabat Amerika Serikat terus menyampaikan kecaman mereka. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan tentang "konsekuensi bagi Taliban" dari keputusan itu, seraya menambahkan bahwa tidak ada negara lain di dunia yang melarang perempuan dan anak perempuan dari pendidikan.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menggambarkan larangan itu sebagai "langkah mundur yang serius" dalam pernyataan hari Rabu (21/12). Dia memperingatkan Taliban bahwa "dunia sedang menyaksikan."
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menuduh para penguasa Taliban membuat keputusan "untuk menghancurkan" masa depan negara itu. Dia juga menekankan bahwa dunia sedang menonton, dengan mengatakan: "Taliban mungkin mencoba membuat perempuan tidak terlihat, tetapi tidak akan berhasil."
Negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim lainnya juga mengecam keputusan tersebut. Negara tetangga, Pakistan, mengungkapkan kekecewaannya atas larangan tersebut dan mendesak otoritas Taliban untuk mempertimbangkan kembali. Negara itu menekankan posisinya yang "jelas dan konsisten" dalam mendidik perempuan.
Qatar mengambil sikap serupa. Negara yang telah memainkan peran penting dalam memfasilitasi negosiasi antara AS dan Taliban itu mendesak pemerintah untuk meninjau kembali keputusannya sejalan dengan ajaran Islam.
Advertisement