23 Desember 1972: Kecelakaan Pesawat dan Kanibalisme di Pegunungan Andes

Penerbangan 571 jatuh di pegunungan Andes. Sebagian yang selamat dari kecelakaan pesawat terpaksa melakukan kanibalisme untuk bertahan hidup sebelum tim penyelamat datang dua bulan setelahnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Des 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 23 Des 2022, 06:00 WIB
Potret pesawat Uruguay 571 yang tertimbu salju di atas pegunungan Andes setelah bencana penerbangan 1971. (Air Safety #OTD by Francisco Cunha/Twitter)
Potret pesawat Uruguay 571 yang tertimbu salju di atas pegunungan Andes setelah bencana penerbangan 1972. (Air Safety #OTD by Francisco Cunha/Twitter)

Liputan6.com, Santiago - Penerbangan Angkatan Udara Uruguay 571 adalah penerbangan sewaan yang jatuh di gletser pegunungan Andes yang terpencil pada 1972.

Di antara 45 orang di dalamnya, 28 selamat dari kecelakaan pesawat itu. Menghadapi kelaparan dan kematian, para penyintas terpaksa melakukan kanibalisme ke tubuh para korban lainnya. Setelah 72 hari di gletser, 16 orang berhasil diselamatkan, dilansir dari laman South Coast Herald, Kamis (22/12/2022).

Penerbangan yang membawa 19 anggota tim rugby beserta keluarga dan para pendukungnya ini berangkat dari Montevideo, Uruguay menuju Santiago, Chile.

Saat melintasi Andes, co-pilot yang kurang berpengalaman memegang komando secara keliru. Ia percaya bahwa mereka telah mencapai Curicó, Chili, meskipun instrumen pesawat menunjukkan sebaliknya.

Dia berbelok ke utara dan mulai turun menuju tempat yang menurutnya adalah Bandara Pudahuel. Nahas, pesawat malah menabrak gunung, memotong kedua sayap dan bagian belakang badan pesawat.

Bagian depan badan pesawat menuruni lereng curam dan berhenti di gletser. Tiga awak dan lebih dari seperempat penumpang tewas dalam kecelakaan itu. Beberapa yang selamat berusaha untuk bertahan hidup di tengah puing-puing pesawat.

Namun, hingga hari kesepuluh setelah pesawat jatuh, mereka masih belum diselamatkan. Bahkan, para penyintas mengetahui dari radio transistor bahwa pencarian telah dibatalkan.

Situasi semakin memburuk. Menghadapi kelaparan dan kematian, mereka yang masih hidup setuju bahwa jika mereka mati, yang lain mungkin memakan tubuh mereka untuk hidup. Tanpa pilihan, yang selamat memakan tubuh mereka yang sudah mati.

Sepekan kemudian -- 17 hari setelah kecelakaan, 27 orang masih hidup. Tetapi, tiba-tiba longsoran salju menerjang dan memenuhi bagian belakang badan pesawat yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung. Longsoran ini menewaskan delapan orang lagi yang selamat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Mendaki untuk Mencari Pertolongan

Gletser di Pegunungan Andes. (Victor SantAnna/Pixabay)
Gletser di Pegunungan Andes. (Victor SantAnna/Pixabay)

Para penyintas hanya memiliki sedikit makanan, bahkan mereka tidak memiliki sumber penghangat dalam kondisi yang sulit itu.

Mereka pun memutuskan bahwa beberapa orang terkuat akan mendaki untuk mencari pertolongan.

Enam puluh hari setelah kecelakaan itu, penumpang Nando Parrado dan Roberto Canessa, yang tidak memiliki peralatan mendaki gunung apa pun, mendaki dari gletser pada ketinggian 3.570 m ke puncak setinggi 4.670 m yang menghalangi jalan mereka ke arah barat.

Selama 10 hari mereka berjalan sekitar 38 mil (61 km) mencari bantuan. Orang pertama yang mereka lihat adalah seorang arriero -- kurir barang di wilayah terpencil di Chili -- Sergio Catalán, yang memberi mereka makanan dan kemudian berkendara selama sepuluh jam untuk memberi tahu pihak berwenang.

Sebelum bertemu Sergio, Parrado dan Canessa mencapai lembah sempit yang dilihat Parrado di puncak gunung, di mana mereka menemukan sumber sungai Río San José yang mengarah ke Río Portillo dan akan mencapai Río Azufre di Maitenes.

Mereka mengikuti sungai dan mencapai garis salju. Lambat laun, muncul tanda-tanda kehadiran manusia, mulai dari beberapa bukti berkemah, dan terakhir pada hari kesembilan, beberapa sapi.

Saat mereka beristirahat malam itu, mereka sangat lelah, bahkan Canessa tampak tidak berdaya untuk melangkah lebih jauh.

 


Bertemu Arrieros

Ilustrasi 'arriero' di pegunungan Andes. (CARLOS MARTIN VEGA OCAÑA/Pixabay)
Ilustrasi 'arriero' di pegunungan Andes. (CARLOS MARTIN VEGA OCAÑA/Pixabay)

Saat mereka mengumpulkan kayu untuk membuat api, salah satu dari mereka melihat tiga pria menunggang kuda di seberang sungai. Parrado memanggil mereka, tetapi kebisingan sungai membuat komunikasi tidak mungkin.

Beruntung, salah satu pria di seberang sungai melihat Parrado dan Canessa, ia berseru akan kembali, "Besok!".

Keesokan harinya, pria itu kembali. Dia menulis catatan, menggabungkannya dengan pensil dan batu menggunakan seutas tali, kemudian melemparkan pesan itu ke seberang sungai.

Parrado membalas:

“Saya berasal dari pesawat yang jatuh di pegunungan (Andes). Saya orang Uruguay. Kami telah berjalan selama sepuluh hari. Aku punya teman yang terluka di atas sana. Di dalam pesawat masih ada 14 orang yang terluka. Kami harus segera keluar dari sini tapi kami tidak tahu caranya. Kami tidak punya makanan. Kami lemah. Kapan kamu akan datang menjemput kami? Tolong, kami bahkan tidak bisa berjalan. Di mana kita?"

Sergio Catalán, seorang arriero Chili, membaca catatan itu dan memberi mereka tanda bahwa dia mengerti.

Catalán berbicara dengan dua pria lainnya, salah satu dari mereka ingat bahwa beberapa minggu sebelumnya ayah Carlos Paez bertanya kepada mereka apakah mereka pernah mendengar tentang kecelakaan pesawat di Andes.

Para arriero itu tidak menyangka bahwa ada orang yang masih hidup. Catalán melemparkan roti ke orang-orang di seberang sungai. Dia kemudian menunggang kuda ke arah barat selama sepuluh jam untuk membawa bantuan.


Keajaiban Andes

Pemberitaan tentang 'Miracle of the Andes' 1972. (Nick Simon/Twitter)
Pemberitaan tentang 'Miracle of the Andes' 1972. (Nick Simon/Twitter)

Kisah kelangsungan hidup para penumpang setelah 72 hari menarik perhatian internasional.

14 orang yang selamat diselamatkan pada 23 Desember 1972, lebih dari dua bulan setelah kecelakaan tragis itu.

Para penyintas khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan oleh masyarakat dan anggota keluarga korban yang tewas tentang tindakan mereka memakan mayat.

Awalnya, ada reaksi publik yang terkejut, tetapi setelah mereka menjelaskan kesepakatan yang dibuat para penyintas untuk mengorbankan daging mereka jika mereka mati untuk membantu yang lain bertahan hidup, protes berkurang dan keluarga menjadi lebih pengertian.

Insiden itu kemudian dikenal sebagai bencana penerbangan Andes, di dunia Hispanik dikenal sebagai 'El Milagro de los Andes' atau 'Miracle of the Andes' (Keajaiban Andes).

 

Penulis: Safinatun Nikmah

Infografis Hari Ibu
Angka Kematian Ibu di Indonesia
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya