Liputan6.com, Rabat - Dua wartawan Prancis diusir dari Maroko dalam pekan ini. Mereka adalah staf reporter Quentin Muller dan jurnalis foto lepas Therese Di Campo, yang bekerja untuk majalah mingguan Marianne.
Keduanya pada Rabu (20/9/2023), mengaku bahwa mereka dibawa secara paksa dari kamar hotel Casablanca oleh 10 polisi berpakaian sipil dan diterbangkan dengan penerbangan pertama ke Paris.
Baca Juga
Baik Muller maupun Stephane Aubouard, editor majalah Marianne, menyebutkan bahwa pengusiran tersebut bermotif politik. Demikian seperti dilansir AP, Jumat (22/9).
Advertisement
"Kami disingkirkan dan diusir secara paksa tanpa penjelasan apapun. Hal ini menunjukkan suasana represif di Maroko," ujar Muller, seraya menambahkan bahwa dia dan Di Campo bepergian ke Maroko untuk melaporkan pemberitaan mengenai pemerintahan Raja Mohammed VI, sebuah topik yang dianggap tabu di negara itu.
Sementara itu, Aubouard menjelaskan bahwa kedua wartawan tersebut pergi ke Maroko pasca gempa 8 September 2023, yang menewaskan hampir 3.000 orang. Dia menggarisbawahi bahwa pengusiran keduanya menegaskan kesulitan yang dihadapi jurnalis asing dan lokal dalam bekerja di Maroko.
Namun, pernyataan mereka dibantah juru bicara pemerintah Maroko Mustapha Baitas pada Kamis (21/9), yang menyatakan bahwa Muller dan Di Campo memasuki negara itu sebagai turis.
"Mereka tidak meminta akreditasi atau menyatakan niat mereka untuk terlibat dalam kegiatan jurnalistik," kata Baitas.
"Bangsa kami sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan transparansi serta berkomitmen untuk memungkinkan semua wartawan menjalankan tugasnya dengan kebebasan mutlak," tambahnya.
Hubungan Pelik Maroko-Prancis
Maroko telah menuai kecaman internasional dalam beberapa tahun terakhir terkait dengan kebebasan pers. Setidaknya tiga jurnalis Maroko yang laporannya mengkritisi pemerintah berakhir di penjara. Mereka dihukum karena kejahatan yang tidak ada hubungannya dengan jurnalisme.
Komite Perlindungan Jurnalis dan Wartawan Tanpa Batas turut mengecam tindakan pengusiran wartawan Prancis, mendeskripsikannya sebagai serangan brutal dan tidak dapat diterima terhadap kebebasan pers.
Pengusiran dua wartawan Prancis tersebut terjadi di tengah kritik yang lebih luas terhadap media Prancis di Maroko.
Dalam perkembangan terpisah pada Rabu, Dewan Pers Nasional Maroko menerbitkan keluhan resmi kepada Dewan Etika dan Mediasi Jurnalistik Prancis terhadap dua media, yakni mingguan satir Charlie Hebdo dan harian Liberation. Menurut Dewan Pers Nasional Maroko pemberitaan mereka telah melanggar norma etika dan menyebarkan berita palsu sambil menyerang Maroko dan lembaga-lembaganya atas respons terhadap gempa.
Ketegangan antara Maroko dan Prancis terjadi jauh sebelum gempa Maroko, persisnya sejak pemerintahan Emmanuel Macron mendekatkan diri ke Aljazair, yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko pada tahun 2021 setelah menuduh Maroko melakukan tindakan permusuhan.
Pada awal tahun ini, Maroko memanggil pulang duta besarnya untuk Prancis, tanpa mengirimkan penggantinya.
Hubungan Maroko dan Prancis makin pelik dengan isu Sahara Barat, di mana Maroko menginginkan agar Prancis segera mengakui kedaulatannya atas wilayah itu.
Pasca gempa, Prancis tidak termasuk di antara empat negara yang dipilih oleh Maroko untuk mengirimkan bantuan pencarian dan penyelamatan.
Presiden Macron dalam sebuah video di media sosial kemudian menyerukan diakhirinya kontroversi yang memecah belah dan memperumit berbagai hal pada momen yang begitu tragis.
Merespons isu ini, Maroko melalui kementerian dalam negerinya memperingatkan bahwa limpahan bantuan yang tidak terkoordinasi dengan baik akan menjadi kontraproduktif.
Â
Â
Advertisement